Makalah Fiqh Siyasah
Komponen Dasar Siyasah Syariyah
Disusun oleh :
A.
Hatimi
11521001
Utty Purnawa
sari 1152 170204
Dosen Pembimbing
:
Abdul Razaq
JURUSAN
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
RADEN FATAH
PALEMBANG
2013
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kajian nya kita telah
mengetahui tentang pengertian fiqh siyasah. Fiqh siyasah adalah mengatur,
mengendalikan, mengurus atau membuat keputusan. Yakni pengurus kemaslahatan
umat manusia sesuai dengan syara’. Sehingga dengan memahami fiqh siyasah
diharapkan dapat membawa kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukan kepaa
jalan yang menyelamatkan baik didunia maupun diakhirat.
Sedangkan pengertian fiqh siyasah
sya’iyah adalah diartikan sebagai ketentuan kebijaksanaan pengurus masalah
kenegaraan yang berdasarkan syariat agama islam. adapun Siyasah syar’iyyah
menurut batasan ahmad fathi bahansi adalah pengaturan kemaslahatan umat manusia
sesuai dengan ketentuan syara’ agama islam. berkenanaan dengan batasan tersebut
timbul beberapa persoalan. Siapa yang harus merencanakan kebijaksanaan,
melaksanakan dan menilai siayasah syar’iyah? Syarat-sayarat apa yang harus
dipenuhi untuk dapat menduduki jabatan perencana, pelaksana dan penilai
peraturan? Siapa yang harus diatur? Mengapa harus diatur? Apa hak dan kewajiban
yang diatur? Bagaimana cara merencanakan, melaksanakan dan menilai peraturan?
Apa bentuk peraturan yang digunakan.
Dalam prespektif kesejajarahan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas beraneka ragamam. Hal ini tidak hanya
sisebabkan oleh perbedaan penekanan atas aspek-aspek tertentu dari kehidupan
siyasah syar’iyah tapi juuga dikarnakana ketidaksamaan kerangka pemikiran yang
digunakan untuk melukiskan pembagian aspek siayasah syar’iyyah.
Itulah tadi pengantar kita tentang
ulasan pengertian fiqh siyasah dan siyasah syar’iyah. Dalam pembahasan yang
akan penulis ambil disini sesuai dari ulasan tentang pengertian fiqh siyasah
dan siyasah syar’iyah. Ternyata didalmnya tidak hanya berhenti pada ulasan
pengertianya saja tetapi disini penulis akan membahas tentang komponen dasar
fiqh siyasah syar’iyah.
B. Rumusan Masalah?
Adapun
rumusan masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.
Jelaskan komponen dasar siyasah syar’iyah:
A. Sumber
dan tata hukum?
B. Kepemimpinan
serta batasan-batsanya?
C. Keadilan?
D. Musyawarah?
BAB
II
PEMBAHASAN
Berkenaan
dengan kehidupan bernegara. Al-Qur’an dalam batas-batas tertentu tidak
memberikan pemberian. Al-Qur’an hanya memaktubkan tata nilai. Demikian
Al-Sunnah. Sebagai contoh Nabi tidak menetapkan peraturan serta rinci mengenai
prosedur pergantian kepemimpinan umat dan kualifikasi pemimpin umat.
A. Sumber dan Tatat Hukum
Sumber dan tata hukum disini
dimaksudkan sebagai tata hukum dalam fiqh siyasah syar’iyya. Dikalangan umat
islam ada pendapat bahwa islam adalah agama yang komprehensif. Didalmnya terdapat
sistem politik dan tata hukum, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebgainya.
Hal ini diyakini oleh Rasyid Ridha,
Hasan al-Bnna dan Al-Maududi yang menyatakan bahwa islam adalah agama yang
serba lengkap oleh sebab itulah dalam bernegara umat islam hendaknya kembali
kepada sistem ketatanegaraan dan tidak perlu atau bahkan jangan menirut sistem
ketatanegaraan barat.[1]
Sama halnya dalam sumber dan tata
hukum yang dibahas dalam fiqh siyasah syar’iyah. Sistem yang telah ada dalam
Islam khususnya masalah tata hukum atau politik islam haruslah dijadikan
teladan karena telah lama dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh Khulafa
Al-Rasyidin.[2]
Sayyid Quthb penulis tafsir Al-Qur’an juga
berpendapat bahwa islam adalah agama yang sempurna dan amat lengkap sebagai
suatu sistem kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan
tetapi juga sistem politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem masyarakat,
istem ekonomi dan sebaginya.[3]
Kajian tentang sumber dan tata hukum
dakam fiqh siyasah ini apat kita lihat dulu dari aspek yang mendukung yaitu
agama islam sebenarnya agama yang sempurna karna dalam kajiannya sudah sangat
jelas bahwa agama yang komferhensif. Didalamnya terdapat sistem politik dan
tata hukum.
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang hidup
bersama beliau di Madinah, jika dikaji dari segi praksis dan
diukur dengan variabel-variabel politik di era modern, tidak disangsikan lagi
dan dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par
excellence. Sistem yang
ditawarkan Islam adalah sistem yang didasari konsep
religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental
maknawi tempat sistem ini
berpijak.
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang hidup
bersama beliau di Madinah, jika dikaji dari segi praksis dan
diukur dengan variabel-variabel politik di era modern, tidak disangsikan lagi
dan dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par
excellence. Sistem yang
ditawarkan Islam adalah sistem yang didasari konsep
religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental
maknawi tempat sistem ini
berpijak.
Dengan demikian, sistem yang ada dalam Islam menyandang dua karakter (agama
dan sistem) sekaligus karena hakikat Islam yang sempurna merangkum
urusan-urusan yang menyangkut masalah materi dan ruhani, serta mengurus
perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat.
B. Kepemimpinan dan
batasan-batasanya
Dalam
hal mengkaji batasan-batasan ini maka yang berbicara disini salah satunya
adalah Al-Qur’an. Tetapi Al-Qur’an dalam batas tetrettnu tidak memberikan dan
menentukan sistem dan bentuk tertentu dalam hal tata hukum dan bernegara.
Tetapi islam hanya memaktubkan tata nilai dqn dasar-dasarnya demikian pula
As-Sunnah. Sebagai contoh Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan prosedur secara
rinci mengenai pergantian kepemimpinan dan kualifikasi kepemimpinan.[4]
Prof. C. A. Nallino berkata, ”bahwa Muhammad telah membangun dalam waktu yang
bersamaan, agama (a religion) dan negara (a state). Dan
batas-batas teritorial negara yang dia bangun sepanjang hayatnya”.
1. Prinsip Al-Qur’an
Sebelum
membahas mengenai masalah kajian kita tentang prinsip kepemimpinan disini
penulis akan membahas yang diawali kedudukan manusia itu sendiri.
Kedudukan manusia di atas bumi
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30)
ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡us9 Îû ÇÚöF{$# $yJ2 y#n=÷tGó$# úïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% £`uZÅj3uKãs9ur öNçlm; ãNåks]Ï Ï%©!$# 4Ó|Ós?ö$# öNçlm; Nåk¨]s9Ïdt7ãs9ur .`ÏiB Ï÷èt/ öNÎgÏùöqyz $YZøBr& 4 ÓÍ_tRrßç6÷èt w cqä.Îô³ç Î1 $\«øx© 4 `tBur txÿ2 y÷èt/ y7Ï9ºs y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÎÎÈ
Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (Q.S. an-Nur: 55)
`¨Br& Ü=Ågä §sÜôÒßJø9$# #sÎ) çn%tæy ß#ϱõ3tur uäþq¡9$# öNà6è=yèôftur uä!$xÿn=äz ÇÚöF{$# 3 ×m»s9Ïär& yì¨B «!$# 4 WxÎ=s% $¨B crã2xs? ÇÏËÈ
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu
(manusia) sebagai khalifah di bumi. (Q.S. an-Naml: 62)
ß¼ãr#y»t $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒt `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7Ïx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqt É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S. Shaad: 26)
È@è% ¢Oßg¯=9$# y7Î=»tB Å7ù=ßJø9$# ÎA÷sè? ù=ßJø9$# `tB âä!$t±n@ äíÍ\s?ur ù=ßJø9$# `£JÏB âä!$t±n@ Ïèè?ur `tB âä!$t±n@ AÉè?ur `tB âä!$t±n@ ( x8ÏuÎ/ çöyø9$# ( y7¨RÎ) 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇËÏÈ
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala urusan. (Q.S. Ali Imran: 26)
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (Q.S. al-An’am: 165)
Setelah kita melihat dan membaca
ayat Al-Qur’an yang menjelaskan kedudukan manusia dibumi maka kita selanjutnya
kita akan membahas pada pembahasan yang berikutnya yaitu prinsip kepemimpinan.
Berikut ini adalaah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang prinsip
kepemimpinan.
Prinsip Kepemimpinan
Di dalam konsep Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final
dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam.
Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota
tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan
gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada
tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan
iringan ridho Allah dalam (Qs. 2 : 207).
ÆÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB Ìô±o çm|¡øÿtR uä!$tóÏGö/$# ÉV$|ÊósD «!$# 3 ª!$#ur 8$râäu Ï$t6Ïèø9$$Î/ ÇËÉÐÈ
Dan di antara
manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan
Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan
terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin
yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang
dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan
mencapai titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin
oleh orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial,
maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan
hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan,
bangunan jama'ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran dijelskan dalam Surat Al-Israa’: 16.
!#sÎ)ur !$tR÷ur& br& y7Î=ökX ºptös% $tRötBr& $pkÏùuøIãB (#qà)|¡xÿsù $pkÏù ¨,yÛsù $pkön=tæ ãAöqs)ø9$# $yg»tRö¨Bysù #ZÏBôs? ÇÊÏÈ
Dan jika kami
hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya
perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki
posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat Islami yang dalam sistem
kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan
atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok.
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam)
mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat
dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera
mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah
Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para shahabat
ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena
kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan ummat muslim
kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama
setelah Rasulullah saw. wafat.
Al-Qur’an
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#räÏGs? ZptR$sÜÎ/ `ÏiB öNä3ÏRrß w öNä3tRqä9ù't Zw$t6yz (#rur $tB ÷LêÏYtã ôs% ÏNyt/ âä!$Òøót7ø9$# ô`ÏB öNÎgÏdºuqøùr& $tBur Ïÿ÷è? öNèdârßß¹ çt9ø.r& 4 ôs% $¨Y¨t/ ãNä3s9 ÏM»tFy$# ( bÎ) ÷LäêZä. tbqè=É)÷ès? ÇÊÊÑÈ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang
yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian
dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih
besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya. (Q.S. Ali-Imran: 118)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's?
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ( Q.S. An-Nisa’: 59)
(#qà)¨?$$sù ©!$# ÈbqãèÏÛr&ur ÇÊÎÉÈ wur (#þqãèÏÜè? zöDr& tûüÏùÎô£ßJø9$# ÇÊÎÊÈ tûïÏ%©!$# tbrßÅ¡øÿã Îû ÇÚöF{$# wur tbqßsÎ=óÁã ÇÊÎËÈ
Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku, Dan
janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, Yang membuat
kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan". (Q.S. As-Syu’ara’: 150-152)
As-Sunnah
Apabila ada Tiga orang berpergian keluar hendaklah salah
seorang diantara mereka menjadi pemimpin. ( H.R. Abu Daud).[5]
Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab
terhadap yang dipimpinya, seorang kepala negara yang memimpin rakyat
bertanggung jawab atas mereka dan seseorang laki-laki pemimpin penghuni
rumahnya dan bertanggung jawab atas mereka
Setelah
kita mengetahui dan membahas dalam kajian prinsip kepemimpinan diatas maka
disana sudah jelas bahwa dalam Al-Qur’an surat Ali-imran: 118, An-Nisa: 59
dan As-Syu’ara:
150-152 kita dapat memahami kajiannya prinsip kepemimpinan yang baik berdasarkan
yang telah Al-Qur’an
dan Hadits jelaskan.
C. Keadilan
Kata ‘adl adalah bentuk masdar dari kata kerja
‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udulan – wa ‘adalatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً
– وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) . Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf ‘ain (عَيْن),
dal (دَال) dan lam (لاَم), yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwa’’ (اَلْاِسْتِوَاء
= keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijaj’ (اَلْاِعْوِجَاج = keadaan menyimpang). Jadi
rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yakni
lurus atau sama dan bengkok atau berbeda. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti
“menetapkan hukum dengan benar”. Jadi, seorang yang ‘adil adalah berjalan lurus
dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan
itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak
berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang
yang ‘adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar maupun yang salah
sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang
patut dan tidak sewenang-wenang.
Keadilan adalah tujuan umum atau
tujuan akhir pemerintahan Islam. Kalangan ahli hukum dan pemerhati masalah
kenegaraan/politik tidak sesering ulam hukum Islam dalam membicarakan makna
keadilan, berikut urgensitas komitmen para penguasa untuk berpegang teguh dan
menerapkannya, termasuk juga para aparat negara yang berhubungan dengan
kepentingan umum. Perintah melaksanakan keadilanbanyak ditemukan secara
eksplisit dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an menyuruh untuk berlaku adil dan
Allah sendiri menjadikan keadilan itu sebagai tujuan dari pemerintahan. Di
antaranya Allah berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. (Q.S. an-Nisa’: 58)
* ¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran. ( Q.S. An-Nahl: 90)
Mendalamnya
makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat
(amanah, titipan suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya
amanat yang berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan
adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap
bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa.
Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Namun,
kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan
karena menjalankan amanat Tuhan.
D. Prinsip Musyawarah
Secara
etimologis, musyawarah berasal dari kata syawara, yaitu berunding,
berembuk, atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Makna dasar dari kata
musyawarah adalah mengeluarkan dan menampakan (al-istihkhraju wa al-izhar). Secara
terminologis, musyawarah diartikan sebagai upaya memunculkan sebuah pendapat
dari seorang ahli untuk mencapai titik terdekat pada kebenaran demi
kemaslahatan umum.
Kata
musyawarah diambil dari akar kata syin (sy) waw (w), dan ra
(r). Ketiga huruf tersebut membentuk kata syawara, yang awalnya bermakna
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain
(termasuk pendapat). Pada dasarnya, musyawarah digunakan untuk hal-hal yang
bersifat umum atau pribadi. Oleh karena itu, bermusyawarah sangat dibutuhkan,
terutama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, baik oleh masyarakat secara
individu maupun secara umum.
Al-Qur’an
$yJÎ6sù
7pyJômu
z`ÏiB
«!$#
|MZÏ9
öNßgs9
(
öqs9ur
|MYä.
$àsù
xáÎ=xî
É=ù=s)ø9$#
(#qÒxÿR]w
ô`ÏB
y7Ï9öqym
(
ß#ôã$$sù
öNåk÷]tã
öÏÿøótGó$#ur
öNçlm;
öNèdöÍr$x©ur
Îû
ÍöDF{$#
(
#sÎ*sù
|MøBztã
ö@©.uqtGsù
n?tã
«!$#
4
¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$#
ÇÊÎÒÈ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap
mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. ( Q.S. Ali-Imran: 159)
y
tûïÏ%©!$#ur
(#qç/$yftGó$#
öNÍkÍh5tÏ9
(#qãB$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
öNèdãøBr&ur
3uqä©
öNæhuZ÷t/
$£JÏBur
öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã
ÇÌÑÈ
Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang kami berikan kepada mereka. ( Asy-Syu’araa’: 38)
As-Sunnah
Bermusyawarahlah kamu dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang tajam
(ahl al-ra’yi) tentang suatu hal dan ikutilah mereka dalam hal itu[8]
Apabila salah seorang kamu meminta konsultasi
kepada saudaranya, maka hendaklah ia memberikan petunjuk kepada orang itu. (H.R. Ibn Majah)[9]
BAB II
Penutup
Dari deskripsi singkat di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa ayat-ayat
dan hadits-hadits yang menjadi prinsip bernegara dalam pandangan Islam tidak
menentukan suatu sistem dan bentuk tertentu mengenai kehidupan bermasyarakat
dan bernegara yang harus diikuti umat Islam, melainkan hanya menerangkan
dasar-dasarnya saja. Tapi dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip itu dapat
dikembangkan sistem sosial pemerintahan dan sistem ekonomi sesuai dengan
tuntunan zaman. Artinya, sistem dan bentuk pemerintahan serta teknis
pengelolaan diserahkan kepada kehendak umat sesuai dengan masalah-masalah
kehidupan duniawi yang timbul pada tempat dan zaman mereka.
Daftar Pustaka
Abdul Karim Zaidan, Individu dan Negara
menurut Pandangan Islam, dalam Hamidullah dkk, Politik Islam,
Konsepsi dan Dokumentasi, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, terj.
Jamaluddin Kafie, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987
Abu Daud, Sunan Abu Daud, al-Qahirat: Dar al-Hadits, 1988, Vol.
III
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin
Hanbal, al-Maktab al-Islami, t.t., Jil. II
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi
Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah, Bandung: Sunan Gunung
Jati Press, 2003
Ali Abdurraziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm
Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan dalam Takaran Islam, penerj. Abdul Hayyie al-Kattani,
jud. Asli: al-Ahkam al-Sulthaniyat, Jakarta: Gema Insani Press,
2000
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jil. III,
Juz 9
Ibn Katsir, Mukhtasar Tafsir Ibn
Katsir, Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1981, Jil. I
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t., Jil. II
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, judul asli: an-Nazhariyatu
as-Siyasatul-islamiyyah, penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001)
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah:
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1990
[1] J. Pulungan Suyuthi, Fiqh
Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: PT. Raja Grafinmdo
Persada,
2002 hlm. 1
1990), h. 1
[4] ibid
[6] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam
Ahamd bin Hanbal, (al-Maktab al-Islami, t.t.), Jil. II, h. 5 dan
[7] Sebagaimana dikutip
oleh Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu’thi Muhammad,al-Fikr al-
Siyasi fi al-Islam, (Iskandariyat: Dar
al-Jami’at al-Mishriyat, 1978), h. 72
[8] Sebagaimana dikutip
oleh Ibn Katsir, Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,
1981), Jil. I, h. 332
Tidak ada komentar:
Posting Komentar