Sabtu, 14 Desember 2013

Makalah Sejarah Peradaban Islam ( Keadaan Bangsa Arab Sebelum Islam )

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah Arab, disebut masa jahiliyyah. Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka.
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keadaan sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, agama dan bangsa Arab sebelum islam ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Keadaan geografis jazirah Arab
Semenanjung Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat daya Asia. Wilayahnya memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi. Semenanjung ini dinamakan jazirah karena tiga sisinya berbatasan dengan air, yakni di sebelah timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di sebelah barat berbatasan dengan laut merah. Hanya di sebelah utara, jazirah ini berbatasan dengan daratan atau padang pasir Irak dan Syiria.
Secara geografis, daratan jazirah Arab didominasi padang pasir yang luas, serta memiliki iklim yang panas dan kering. Hampir lima per enam daerahnya terdiri dari padang pasir dan gunung batu. Luas padang pasir ini diklasifikasikan Ahmad Amin sebagai berikut:
         1. Sahara Langit, yakni yang memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat. Sahara ini disebut juga sahara Nufud. Di daerah ini, jarang sekali ditemukan lembah dan mata air. Angin disertai debu telah menjadi ciri khas suasana di tempat ini. Hal itulah yang menyebabkan daerah ini sulit dilalui.
        2. Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan daerah sepi (al-Rub’ al-Khali).
        3. Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang terdiri dari tanah liat berbatu hitam. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di seluruh sahara ini.
Secara garis besar, jazirah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan, namun sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan air dan padang rumput demi keberlangsungan hidup mereka. Sedangkan daerah pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga para penduduk daerah tersebut relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh karena itu, di daerah pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang kota-kota dan kerajaan-kerajaan penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah dan Ghassan.
B. Keadaan sosial dan budaya bangsa Arab sebelum Islam
Masyarakat Arab terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu penduduk kota (Hadhary) dan penduduk gurun (Badui). Penduduk kota bertempat tinggal tetap. Mereka telah mengenal tata cara mengelola tanah pertanian dan telah mengenal tata cara perdagangan. Bahkan hubungan perdagangan mereka telah sampai ke luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah memiliki peradaban cukup tinggi.
Sementara masyarakat Badui hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka[1]. Di antara kebiasaan mereka adalah mengendarai unta, mengembala domba dan keledai, berburu serta menyerang musuh. Kebiasaan ini menurut adat mereka adalah pekerjaan yang lebih pantas dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, mereka belum mengenal pertanian dan perdagangan. Karenanya, mereka hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kehidupan, baik untuk diri dan keluarga mereka atau untuk binatang ternak mereka. Dalam perjalanan pengembaraan itu, terkadang mereka menyerang musuh atau menghadapi serangan musuh. Di sinilah terjadi kebiasaan berperang di antara suku-suku yang ada di wilayah Arabia.
Ketika mereka diserang musuh maka suku yang bersekutu dengan mereka biasanya ikut membantu dan rela mengorbankan apa saja untuk membantu kawan sekutunya itu. Di sinilah dapat kita lihat adanya unsur kesetiakawanan yang ada di antara mereka. Selain itu, manakala seorang anggota suku diserang oleh suku lain maka seluruh anggota wajib membela anggotanya meskipun anggotanya itu salah. Mereka tidak melihat kesalahan ada di pihak mana. Hal penting yang mereka lakukan adalah membela sesama anggota suku. Itulah yang dapat kita lihat dari sikap fanatisme dan patriotisme yang ada di dalam kehidupan masyarakat Badui.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis Arab sangat besar pengaruhnya terhadap kejiwaan masyarakatnya. Arab sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan masyarakatnya dari serangan musuh-musuh luar. Pada sisi lainnya, kegersangan ini mendorong mereka menjadi pengembara-pengembara dan pedagang daerah lain. Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang pasir juga menimbulkan semangat kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan mereka terhadap kebebasan ini menyebabkan mereka tidak pernah dijajah bangsa lain.
Kondisi kehidupan Arab menjelang kelahiran Islam secara umum dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Hal ini dikarenakan kondisi sosial politik dan keagamaan masyarakat Arab saat itu. Hal itu disebabkan karena dalam waktu yang lama, masyarakat Arab tidak memiliki nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar yang membimbing mereka. Mereka tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat keberagamaan mereka tidak berbeda jauh dengan masyarakat primitif.
Sesungguhnya sejak zaman jahiliyah, masyarakat Arab memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif, seperti sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingat yang kuat, kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia terhadap suku dan pemimpin, pola kehidupan yang sederhana, ramah tamah, mahir dalam bersyair dan sebagainya. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti kehidupan mereka, yakni ketidakadilan, kejahatan, dan keyakinan terhadap tahayul.
Pada masa itu, kaum wanita menempati kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat Arab pra Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan bahkan lebih hina lagi. Karena para wanita sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka hatinya dan menceraikan mereka semaunya. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi yang sangat buruk, yaitu suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Mereka merasa terhina memiliki anak-anak perempuan. Muka mereka akan memerah bila mendengar isteri mereka melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka lakukan karena mereka merasa malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan dan kesengsaraan dan kehinaan.
Selain itu, sistem perbudakan juga merajalela. Budak diperlakukan majikannya secara tidak manusiawi. Mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk hidup layaknya manusia merdeka. Bahkan para majikannya tidak jarang menyiksa dan memperlakukan para budak seperti binatang dan barang dagangan, dijual atau dibunu
Secara garis besar kehidupan sosial masyarakat Arab secara keseluruhan dan masyarakat kota Mekkah secara khusus benar-benar berada dalam kehidupan sosial yang tidak benar atau jahiliyah. Akhlak mereka sangat rendah, tidak memiliki sifat-sifat perikemanusiaan dan sebagainya. Dalam situasi inilah agama Islam lahir di kota Mekkah dengan diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul Allah.
Secara singkat dapat disimpulkan keaadaan sosial dan kebudayaan bangsa Arab sebelum islam diantaranya:
  1. Orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam adalah orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrikin), yaitu mereka menyembah patung-patung dan menganggap patung-patung itu suci.
  2. Kebiasaan mereka ialah membunuh anak laki-laki mereka karena takut kemiskinan dan kelaparan.
  3. Mereka menguburkan anak-anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut malu dan celaan.
d.      Mereka orang-orang yang suka berselisihan, yang suka bertengkar, lantaran sebab-sebab kecil, sebab segolongan dari mereka memerangi akan segolongannya.

C.    Keadaan ekonomi Bangsa Arab sebelum Islam
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Makkah misalnya, karena letak geografisnya yang sangat strategis maka ia menjadi tempat persinggahan para kafilah dagang yang datang dan pergi menuju pusat perniagaan[2]. Mereka berdagang bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan. Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab sebelum Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
      1.  Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
      2.    Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
      3.    Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
      4.     Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
      5.     Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena   keduanya terlibat peperangan terus menerus.
      6.      Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
      7.      Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
      8.      Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah[3].
     
Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya. Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh kesuksesan yang besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.
D.    Keadaan politik bangsa Arab sebelum Islam
   Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya saja. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis[4]. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya. Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh  dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.
E.     Keadaan agama bangsa Arab sebelum Islam
Sebelum kedatangan Islam di arab terdapat berbagai agama diantara ada yang beragama Yahudi, kristen dimana mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi seperti perhiasan dan persenjataan[5].
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-berhala itu: sanam, wathan, nusub, dan hubal. Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit” (Ashab al-Ukhdud). Sedangkan Agama Kristen di jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, al-Quran menggunakan istilah “Nasara” bukan “al-Masihiyah” dan “al-Masihi” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nasara” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhab-madhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hanifiyah[6], yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Taif, dan Mekah.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara sosiologis, bangsa Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung, seperti model tanah yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan semacam ini, wajar jika mereka memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina, sehingga terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan menjadi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang meniscayakan zaman tersebut disebut zaman jahiliyyah.
Dari sisi perekonomian, unsur penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan di samping bertani dan beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz, khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang antara Yaman dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati kapal-kapal dagang Eropa dan Asia melalui laut merah.
Dunia politik Arab pra Islam lebih didominasi oleh model kesukuan. Pimpinan tertinggi dari suku dinamakan Shaikh. Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Dari dominasi model kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar agaknya sedikit terhalangi.
Sementara jika ditinjau dari sisi keagamaan, masyarakat Arab pra Islam memeluk berbagai macam agama, di antaranya Paganisme, Yahudi, Kristen dan Hanifiyah. Agama-agama ini merupakan agama warisan dari pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing terus berlangsung sampai datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Din, Burhan, Jazirat- Arab al-Islam, Beirut: t. p. 1989
Asy Syarkowi, Abdurrahman, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003
R A A, Nicholson, A Literary History of The Arabs, Cambridge : Cambridge University Perss 1997
Sa’id Romadhan al-Buthy, Muhammad, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2008



[1] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008 hlm 10.
[2] Abdurrahman Asy Syarkowi, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003 hlm 10
[3] Burhan Al-Din, Jazirat-Arab al-Islam, Beirut: T p . 1989 hlm 21.
[4] R A. Nicholson, A Literary History of The Arabs. Cambridge: Cambridge University Press. 1997 hlm 49
[5] Dr . Badri Yatim, op. Cit, hlm 15
[6] Dr. Muhammah Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006 hlm 21.

Makalah Sejarah Peradaban Islam ( Serangan Bangsa Mongol )

BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Sudah menjadi sunatullah bagi manusia sebagai hamba Allah dimuka bumi yang memiliki sifat-sifat kelebihan dan kekurangan, tidak hanya terjadi terhadap manusia saja bahkan kepada makhluk yang lain pun seperti itu. Islam sebagai agama Tuhan yang diturunkan kemuka bumi lewat orang-orang yang dipercaya keshalehannya oleh Tuhan untuk disebarkan di muka bumi dengan tujuan supaya manusia kembali kefitrahnya sebagai makhluk yang menghamba kepadaNya.
Islam pertama kali muncul yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sangat menarik dan santun sehingga banyak orang yang berbondong-bondong masuk Islam (QS: 110: 2), ketika Islam dipimpin para khalifah yang empat, Islam mengalami perluasan-perluasan wilayah, sehingga Islam tidak hanya dianut oleh orang-orang arab dan sekitarnya. Sepeninggalnya para khalifah yang empat Islam dipimpin dinasti umayah yang berfokus pada pembenahan administrasi Negara.
Sedangkan ketika dinasti abbasiyah maju sebagai pimpinan, Islam mengalami kemajuan-kemajuan dalam bidang sains dan teknologi yang diambilkan dari al-Quran yang berkaiatan dengan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) yang dipadukan dengan filsafat yunani. Tetapi setelah beberapa abad lamanya Islam mengalami kemunduran sehingga tradisi keilmuan pindah ke negeri barat.
Dalam garis besarnya Islam dibagi ke dalam tiga periode besar yaitu periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. Dalam hal ini pemakalah akan membahas dan mengkaji tentang sejarah peradaban Islam tentang serangan-serangan bangsa mongol dan kehancuran islam zaman klasik.

2.      RUMUSAN MASALAH
1        Bagaimana Asal Usul Bangsa Mongol?
2        Apa yang melatar belakangi serangan Mongol ke dunia Islam?
3        Apa sajakah serangan dahsyat bangsa mongol ke dunia Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asal Usul Bangsa Mongol
Bangsa Mongol berasal dari Asia bagian tengah. Bangsa Mongol berada di wilayah pegunungan Mongolia, berbatasan dengan Cina di Selatan, Turkistan di Barat, Manchuria di Timur dan Siberia di sebelah Utara. Mongolia merupakan pusat Kekaisaran Mongol pada abad ke-13.
Mongolia sendiri adalah kabilah-kabilah besar yang menyerupai sebuah bangsa pedalaman dan nomadik. Sebagian besar dari Bangsa Mongol bertempat tinggal di Padang Stepa yang membentang di antara pegunungan Ural sampai pegunungan Altai di Asia Tengah dan mendiami hutan Siberia dan Mongol di sekitar Danau Baikal. Mereka adalah pengembala yang hidup di dataran luas di Asia (dataran Mongolia yang luas memanjang dari Asia Tengah, Siberia Selatan, Tibet Utara dan Turkistan Timur.
 Orang Mongol yang terdiri dari kelompok-kelompok klan yang berdiri sendiri, pada awalnya hidup di dataran tinggi sebelah utara Gurun Gobi.
Selama beberapa abad, Bangsa Mongol hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain yang membentang dari Manchuria sampai Turkistan. Mereka ditakuti oleh bangsa-bangsa sekitarnya karena serangan-serangannya yang dahsyat. Sesekali mereka menyerang Cina atau menjarah kafilah yang menyusuri jalur Sutera yang menghubungkan Cina, India dan Persia.
Sebagian besar Bangsa Mongol tidak terpengaruh oleh peradaban dan agama yang mengelilingi mereka. Mereka sangat patuh dan taat kepada pemimpinnya dalam agama Syamaniyah, yaitu kepercayaan menyembah bintang-bintang dan matahari terbit. Mereka memeluk agama nenek moyang dan menyembah Tuhan mereka, Tengri (Si Langit Biru yang kekal).
Agama mereka mengajarkan menyembah matahari terbit dan tidak ada larangan memakan daging binatang apapun bahkan anjing dan babi. Adapun agama-agama samawi yang sampai di tengah-tengah mereka karena factor invansi bangsa Mongol itu sendiri, Misalnya agama Islam pengaruh dari Persia dan daerah-daerah Golden Holde, agama Budha pengaruh dari Tibet dan Persia dan agama Kristen datang dari Eropa. 
Mereka hidup dari hasil perdagangan tradisional yaitu mempertukarkan Bangsa Turki dan Cina yang merupakan tetangga mereka. Sebagai bangsa nomaden, mereka mempunyai sifat kasar, suka berperang, berani mati dalam mewujudkan keinginan dan ambisi politiknya.
 Nenek moyang Bangsa Mongol adalah Alanja Khan yang dikaruniai putera kembar yaitu Mongol dan Tartar, yang mana dari kedua putera ini melahirkan dua keturunan bangsa yaitu Bangsa Mongol dan Bangsa Tartar. Pada masa kerajaan Mongol dipimpin oleh Ilkhan dan Tartar dipimpin oleh Sanja Khan terjadi perselisihan antara keduanya.
Pada awalnya peperangan dimenangkan oleh Tartar tapi akhirnya Mongol berhasil menggulingkan kekuatan Tartar. Pelopor Bangsa Mongol adalah Yesugei. Pada akhir abad ke-12 salah seorang pemimpinnya yang bernama Temujin, putra Yesugei berhasil menyatukan suku-suku Mongol di bawah kekuasaannya.
Selanjutnya Temujin mendapat gelar “Jengiz Khan” yang berarti raja yang kuat dan perkasa. Jengiz Khan menetapkan Kota Karakoram yang terletak di sekitar sungai Arkhan sebagai ibu kota Negara yang didirikan atas dasar kekuatan militer yang tangguh pada tahun 603 H (1206 M). Perpaduan antara watak nomad dengan ketangkasan Bangsa Mongol menunggang kuda, serta keberaniannya melawan musuh mengantarkan Bangsa Mongol sebagai bangsa penakluk.

B.     latar belakang serangan Mongol ke dunia Islam
Pada awalnya Bangsa Mongol hidup berdampingan secara damai dengan wilayah Islam. Pemimpin Mongol Jengiz Khan membuat peraturan yang mengatur kehidupan beragama dengan adanya larangan merugikan antara satu pemeluk agama dengan yang lainnya. Bangsa Mongol mempercayai superkekuatan, sekalipun mereka tidak menyembahnya.
Jengiz Khan tidak mengusik umat Islam, dan menghormati keluarga (keturunan) Nabi Muhammad yang ketika itu sudah meluas ke wilayahnya. Peraturan ini antara lain untuk memberi landasan yang kokoh bagi bangsanya untuk menghadapi tantangan dan meluaskan wilayah ke luar negeri, baik ke Cina maupun ke negeri-negeri Islam.
Pada tahun 1218 Jengiz Khan menundukkan Turkistan yang berbatasan dengan wilayah Islam, yakni Khawarizm Syah. Jengiz Khan mengadakan kontak dagang dengan pihak Khawarizm sebagai usaha untuk mengenali situasi dan kondisi kekuasaan Islam di Asia Tengah. Ala’ Uddin Muhammad Khawarizm menerima kontak diplomasi perdagangan ini dengan amat hati-hati.
Latar belakang yang menyebabkan invasi Mongol ke wilayah Islam adalah adanya peristiwa Utrar pada tahun 1218, yaitu ketika Gubernur Khawarizm membunuh utusan Jengiz Khan yang disertai pula oleh para saudagar muslim. Jengis Khan mengirim 50 orang saudagar Mongol untuk membeli barang dagangan di Bukhara. Atas perintah amir Bukhara Gayur Khan, mereka ditangkap dan dihukum mati.
Penangkapan tersebut disebabkan para pedagang Mongol tersebut melakukan tindakan kasar yang merugikan pedagang setempat. Peristiwa itu menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari Jengiz Khan. Hal tersebut menyebabkan Mongol menyerbu wilayah Islam dan dapat menaklukkan Transoxania yang merupakan wilayah Khawarizm tahun 1219-1220.

C.    Serangan dahsyat bangsa Mongol ke dunia Islam
Ada 3 gelombang serangan dahsyat Mongol ke dunia Islam, yaitu:
1        Penghancuran dan pembantaian di Turkistan dan Khurasan di bawah pimpinan Jengiz Khan. Pada serangan ini Mongol dapat menaklukkan Transoxania yang merupakan wilayah Khawarizm tahun 1219-1220.
2        Serangan ke Baghdad di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tanggal 10 Februari 1258. Akibat serangan ini Kota Baghdad hancur dan runtuhlah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
3        Invasi ke negara-negara Asia di bawah pimpinan Timur Lenk yang dimulai dengan serangan ke Persia pada tahun 1380 M. Bangsa Mongol pernah mengalami kekalahan di ‘Ain Jalut ketika melawan tentara Mamluk yang dipimpin oleh Baibars.
Serangan Mongol kembali mengancam dengan munculnya Timur Lenk, tetapi setelah Timur Lenk meninggal, kekuasaan Mongolpun ambruk.
Adapun akibat serangan-serangan Mongol ke dunia Islam yaitu:
a.       Hancurnya segala macam peradaban dan pusaka yang telah dibuat beratus-ratus tahun lamanya, istana-istana kerajaan dan perpustakaan.
b.      Banyaknya penduduk yang terbunuh.
c.       Masjid-masjid Bukhara yang terkenal sebagai pusat ibadah dan pengetahuan dijadikan kandang kuda oleh pasukan Mongol.
d.      Ribuan pengrajin muslim dibawa ke Mongolia untuk dijadikan budak.
e.       Timbul wabah penyakit pes akibat mayat-mayat yang bergelimpangan belum sempat dikebumikan.
f.       Dihanyutkannya kitab-kitab yang dikarang oleh ahli ilmu pengetahuan ke dalam sungai Dajlah sehingga berubah warna airnya karena tinta yng larut.
g.      Hancurnya Baghdad sebagai pusat Dinasti Abbasiyah, fasilitas perpustakaan, hilang lenyap dibakar Hulagu.
h.      Runtuhnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan mundurnya kekuatan politik Islam.









PENUTUP
Kesimpulan
Bangsa Mongol berasal dari Asia bagian tengah. Bangsa Mongol berada di wilayah pegunungan Mongolia, berbatasan dengan Cina di Selatan, Turkistan di Barat, Manchuria di Timur dan Siberia di sebelah Utara. Mongolia merupakan pusat Kekaisaran Mongol pada abad ke-13.
Latar belakang yang menyebabkan invasi Mongol ke wilayah Islam adalah adanya peristiwa Utrar pada tahun 1218, yaitu ketika Gubernur Khawarizm membunuh utusan Jengiz Khan yang disertai pula oleh para saudagar muslim. Jengis Khan mengirim 50 orang saudagar Mongol untuk membeli barang dagangan di Bukhara. Atas perintah amir Bukhara Gayur Khan, mereka ditangkap dan dihukum mati.
Penghancuran dan pembantaian di Turkistan dan Khurasan di bawah pimpinan Jengiz Khan. Pada serangan ini Mongol dapat menaklukkan Transoxania yang merupakan wilayah Khawarizm tahun 1219-1220. Serangan ke Baghdad di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tanggal 10 Februari 1258.
Akibat serangan ini Kota Baghdad hancur dan runtuhlah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Invasi ke negara-negara Asia di bawah pimpinan Timur Lenk yang dimulai dengan serangan ke Persia pada tahun 1380 M. Bangsa Mongol pernah mengalami kekalahan di ‘Ain Jalut ketika melawan tentara Mamluk yang dipimpin oleh Baibars.










DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Thoriq. 15 Januari 2009. Hancurnya Sebuah Peradaban-Serangan Mongol. http://dakwah.info/. Diakses 01 Desember 2013
Andik P, Surya Okta. 13-11-2008. Serangan-serangan Timur Lenk (Masa Kemunduran). http://mktabahku.wordpress.com/. Diakses 01 Desember 2013