BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Masa sebelum Islam, khususnya
kawasan jazirah Arab, disebut masa jahiliyyah. Julukan semacam ini terlahir
disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman
(badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang.
Mereka pada umumnya hidup berkabilah. Mereka berada dalam lingkungan miskin
pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut,
mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan,
membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian,
membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana
semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka.
Namun demikian, bukan berarti
masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa
Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan
ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan kota
dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat
strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan
dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi
lahirnya Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian
karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks
historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa
dengan peristiwa lainnya terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, agama dan bangsa Arab
sebelum islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Keadaan geografis jazirah Arab
Semenanjung Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat daya
Asia. Wilayahnya memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi. Semenanjung ini
dinamakan jazirah karena tiga sisinya berbatasan dengan air, yakni di
sebelah timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah selatan
berbatasan dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di sebelah barat berbatasan
dengan laut merah. Hanya di sebelah utara, jazirah ini berbatasan dengan
daratan atau padang pasir Irak dan Syiria.
Secara geografis, daratan jazirah Arab didominasi padang pasir yang
luas, serta memiliki iklim yang panas dan kering. Hampir lima per enam
daerahnya terdiri dari padang pasir dan gunung batu. Luas padang pasir ini
diklasifikasikan Ahmad Amin sebagai berikut:
1. Sahara Langit, yakni yang memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180
mil dari timur ke barat. Sahara ini disebut juga sahara Nufud. Di daerah ini,
jarang sekali ditemukan lembah dan mata air. Angin disertai debu telah menjadi
ciri khas suasana di tempat ini. Hal itulah yang menyebabkan daerah ini sulit
dilalui.
2. Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara Langit ke arah
timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus,
dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan daerah sepi (al-Rub’
al-Khali).
3. Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang terdiri dari tanah liat berbatu
hitam. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di seluruh sahara ini.
Secara garis besar, jazirah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah
pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan, namun
sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa dimanfaatkan
penduduk nomadik dengan mencari genangan air dan padang rumput demi
keberlangsungan hidup mereka. Sedangkan daerah pesisir, hujan turun dengan
teratur, sehingga para penduduk daerah tersebut relatif padat dan sudah
bertempat tinggal tetap. Oleh karena itu, di daerah pesisir ini, jauh sebelum
Islam lahir, sudah berkembang kota-kota dan kerajaan-kerajaan penting, seperti
kerajaan Himyar, Saba’, Hirah dan Ghassan.
B. Keadaan
sosial dan budaya bangsa Arab sebelum Islam
Masyarakat Arab terbagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu penduduk kota (Hadhary) dan penduduk gurun (Badui).
Penduduk kota bertempat tinggal tetap. Mereka telah mengenal tata cara
mengelola tanah pertanian dan telah mengenal tata cara perdagangan. Bahkan
hubungan perdagangan mereka telah sampai ke luar negeri. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka telah memiliki peradaban cukup tinggi.
Sementara masyarakat Badui hidupnya
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya guna mencari air dan padang
rumput untuk binatang gembalaan mereka[1].
Di antara kebiasaan mereka adalah mengendarai unta, mengembala domba dan keledai,
berburu serta menyerang musuh. Kebiasaan ini menurut adat mereka adalah
pekerjaan yang lebih pantas dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, mereka
belum mengenal pertanian dan perdagangan. Karenanya, mereka hidup berpindah
dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kehidupan, baik untuk diri dan
keluarga mereka atau untuk binatang ternak mereka. Dalam perjalanan
pengembaraan itu, terkadang mereka menyerang musuh atau menghadapi serangan
musuh. Di sinilah terjadi kebiasaan berperang di antara suku-suku yang ada di
wilayah Arabia.
Ketika mereka diserang musuh maka
suku yang bersekutu dengan mereka biasanya ikut membantu dan rela mengorbankan
apa saja untuk membantu kawan sekutunya itu. Di sinilah dapat kita lihat adanya
unsur kesetiakawanan yang ada di antara mereka. Selain itu, manakala seorang
anggota suku diserang oleh suku lain maka seluruh anggota wajib membela
anggotanya meskipun anggotanya itu salah. Mereka tidak melihat kesalahan ada di
pihak mana. Hal penting yang mereka lakukan adalah membela sesama anggota suku.
Itulah yang dapat kita lihat dari sikap fanatisme dan patriotisme yang ada di
dalam kehidupan masyarakat Badui.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi
geografis Arab sangat besar pengaruhnya terhadap kejiwaan masyarakatnya. Arab sebagai
wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan masyarakatnya dari serangan
musuh-musuh luar. Pada sisi lainnya, kegersangan ini mendorong mereka menjadi
pengembara-pengembara dan pedagang daerah lain. Keluasan dan kebebasan
kehidupan mereka di padang pasir juga menimbulkan semangat kebebasan dan
individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan mereka terhadap kebebasan ini
menyebabkan mereka tidak pernah dijajah bangsa lain.
Kondisi kehidupan Arab menjelang
kelahiran Islam secara umum dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Hal ini
dikarenakan kondisi sosial politik dan keagamaan masyarakat Arab saat itu. Hal
itu disebabkan karena dalam waktu yang lama, masyarakat Arab tidak memiliki
nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar yang membimbing mereka. Mereka
tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan
nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat keberagamaan mereka tidak berbeda
jauh dengan masyarakat primitif.
Sesungguhnya sejak zaman jahiliyah,
masyarakat Arab memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif, seperti
sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingat yang kuat, kesadaran
akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia terhadap suku dan
pemimpin, pola kehidupan yang sederhana, ramah tamah, mahir dalam bersyair dan
sebagainya. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak ada
artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti kehidupan mereka, yakni
ketidakadilan, kejahatan, dan keyakinan terhadap tahayul.
Pada masa itu, kaum wanita menempati
kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat Arab
pra Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan bahkan lebih hina lagi.
Karena para wanita sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak
memiliki apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka hatinya dan
menceraikan mereka semaunya. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi yang sangat
buruk, yaitu suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Mereka merasa
terhina memiliki anak-anak perempuan. Muka mereka akan memerah bila mendengar
isteri mereka melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka lakukan karena
mereka merasa malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan dan
kesengsaraan dan kehinaan.
Selain itu, sistem perbudakan juga
merajalela. Budak diperlakukan majikannya secara tidak manusiawi. Mereka tidak
mendapatkan kebebasan untuk hidup layaknya manusia merdeka. Bahkan para
majikannya tidak jarang menyiksa dan memperlakukan para budak seperti binatang
dan barang dagangan, dijual atau dibunu
Secara garis besar kehidupan sosial
masyarakat Arab secara keseluruhan dan masyarakat kota Mekkah secara khusus
benar-benar berada dalam kehidupan sosial yang tidak benar atau jahiliyah.
Akhlak mereka sangat rendah, tidak memiliki sifat-sifat perikemanusiaan dan
sebagainya. Dalam situasi inilah agama Islam lahir di kota Mekkah dengan
diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul Allah.
Secara singkat dapat disimpulkan keaadaan sosial dan
kebudayaan bangsa Arab sebelum islam diantaranya:
- Orang-orang
Arab sebelum kedatangan Islam adalah orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrikin),
yaitu mereka menyembah patung-patung dan menganggap patung-patung itu
suci.
- Kebiasaan
mereka ialah membunuh anak laki-laki mereka karena takut kemiskinan dan
kelaparan.
- Mereka
menguburkan anak-anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut malu dan
celaan.
d.
Mereka orang-orang yang suka berselisihan, yang suka
bertengkar, lantaran sebab-sebab kecil, sebab segolongan dari mereka memerangi
akan segolongannya.
C.
Keadaan ekonomi Bangsa Arab sebelum
Islam
Perdagangan merupakan
unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Makkah misalnya,
karena letak geografisnya yang sangat strategis maka ia menjadi tempat
persinggahan para kafilah dagang yang datang dan pergi menuju pusat perniagaan[2].
Mereka berdagang bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab.
Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena
pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan
ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200
tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika,
dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu
gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang
mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading,
sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan. Data ini menunjukkan bahwa
perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga
kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur
perdagangan ini.
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab
sebelum Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu adalah sebagai
berikut:
1. Kemajuan produksi lokal
serta kemajuan aspek pertanian.
2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan
profesi yang paling bergengsi.
3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan
perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak
dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis
di jazirah Arab.
5. Mundurnya perekonomian dua imperium besar,
Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya
terlibat peperangan terus menerus.
6. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara
politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan
Persia pada tahun 257 M.
7.
Dibangunnya pasar lokal
dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani
Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa
antara ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan
masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut
memberikan sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di
Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur
perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada
waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah menjadi jalur perdagangan
internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena
terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan
jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya
Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan
agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa
terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan
selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam
perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku
yang ada di sekitarnya. Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya
perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat
perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis
sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang
diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra,
rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan
pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah
memperoleh kesuksesan yang besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai
bidang bisnis.
D.
Keadaan politik bangsa Arab sebelum
Islam
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang
dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan
kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam,
sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor
penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan
politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke
kabilahnya saja. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan
politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara
dalam struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan
tidak tertulis[4].
Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada
anggotanya. Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat.
Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat
antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim,
Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi
kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang
pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh dipilih dari
suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili.
Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan
tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat
pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.
E.
Keadaan agama bangsa Arab sebelum
Islam
Sebelum kedatangan Islam di arab
terdapat berbagai agama diantara ada yang beragama Yahudi, kristen dimana
mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan membuat
alat-alat dari besi seperti perhiasan dan persenjataan[5].
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam.
Paganisme, Yahudi, dan
Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama
mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar
Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-berhala itu: sanam, wathan,
nusub, dan hubal. Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan
juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal
berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua
penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah
melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme
sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap
tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya
kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.
Agama Yahudi
dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data
sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab,
kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai
penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran
agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh.
Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api
di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang
atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban
pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif
fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang
membuat parit” (Ashab al-Ukhdud). Sedangkan Agama Kristen di jazirah
Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang
mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte
Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, al-Quran menggunakan istilah “Nasara” bukan “al-Masihiyah”
dan “al-Masihi” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi
(Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nasara” adalah sekte sesat,
tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Para misionaris
Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu
madhab-madhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah
itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani
yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu
pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan
sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk
jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazirah
Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama
di atas adalah Hanifiyah[6],
yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak
terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut
agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka
berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hanifiyah,
sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke
berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Taif,
dan Mekah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara
sosiologis, bangsa Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara
kesukuan. Mereka hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis
yang tidak mendukung, seperti model tanah yang tandus, berbatu, padang pasir
luas serta beriklim panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan semacam ini,
wajar jika mereka memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi,
berzina, sehingga terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian
ini seakan-akan menjadi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam
inilah yang meniscayakan zaman tersebut disebut zaman jahiliyyah.
Dari sisi
perekonomian, unsur penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra
Islam adalah perdagangan di samping bertani dan beternak. Mereka telah lama
mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab.
Terbukti dengan adanya Mekkah sebagai kota dagang internasional. Demikian ini
karena letak daerah Hijaz, khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni
penghubung jalur dagang antara Yaman dengan Syiria. Di samping itu, daerah
pesisir ini juga di lewati kapal-kapal dagang Eropa dan Asia melalui laut
merah.
Dunia politik
Arab pra Islam lebih didominasi oleh model kesukuan. Pimpinan tertinggi dari
suku dinamakan Shaikh. Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih
banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak
berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan
hukuman-hukuman. Dari dominasi model kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan
serta adanya tatanan politik yang benar agaknya sedikit terhalangi.
Sementara jika ditinjau
dari sisi keagamaan, masyarakat Arab pra Islam memeluk berbagai macam agama, di
antaranya Paganisme, Yahudi,
Kristen dan Hanifiyah. Agama-agama ini merupakan agama warisan dari
pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing terus berlangsung sampai
datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta penyempurna dari agama-agama
samawi sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Din, Burhan,
Jazirat- Arab al-Islam, Beirut: t. p. 1989
Asy Syarkowi,
Abdurrahman, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003
R A A,
Nicholson, A Literary History of The Arabs, Cambridge : Cambridge
University Perss 1997
Sa’id Romadhan
al-Buthy, Muhammad, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006
Yatim Badri, Sejarah
Peradaban Islam , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2008
[1] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo. 2008 hlm 10.
[2] Abdurrahman Asy Syarkowi, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta:
Mitra Pustaka 2003 hlm 10
[3] Burhan Al-Din, Jazirat-Arab al-Islam, Beirut: T p . 1989 hlm 21.
[4] R A. Nicholson, A Literary History of The Arabs. Cambridge:
Cambridge University Press. 1997 hlm 49
[5] Dr . Badri Yatim, op. Cit, hlm 15
[6] Dr. Muhammah Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta:
Robbani Press cet 11 2006 hlm 21.
gan izin kopas yaaa, untuk tugas .
BalasHapusmembantu banget . thanks
BalasHapussangat membantu..terima kasih :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIjin copas,
BalasHapusThanks (y)
Ass.. saya ijin copas ya, untuk menambah referensi saya .
BalasHapusterima kasih !
Ass. Izin Copas...
BalasHapusTERIMA KASIH..
MAKASIH
BalasHapusminta yaa buat tugas makalah nih bang, makasih sbelomnya.
BalasHapusTerima kasihhh....������
BalasHapusTerima kasihhh....������
BalasHapusIzin mengulik makalah ini untuk pembuatan tugas mkalah ya mas
BalasHapusAssalamualaikum izin copas 😊
BalasHapus