Problematika Ushul Fiqh
Disusun Oleh :
Kelompok 1
A.
Hatimi
(11521001)
Utty Purnama Sari (11521704)
Dosen Pembimbing :
Yuni Melati, M.H.I
JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALEMBANG
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
Latarbelakang
Masalah
Ulama sependapata bhwa didalam syariat islam telah
terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak tanduk manusia, baik perkataan
maupun perbuatan. Hukum-hukum itu ada kalanya disebutkan secara jelas serta
tegas dan ada kalanya pula hanya dikemukankan dalam bentuk dalill-dalil dan
kaidah-kaidah secara umum.
Unttuk
memahami hukum islam dalam bentuk yang disebut pertama tidak diperlukan
ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya, karna
memang sudah jelas dan tegas disebut oleh allah. Hukum islam dalam bentuk ini
disebut wahyu murni. Adapun untuk mengetahui hukum islam dalam bentuk kedua
diperlukan upaya yang sunggguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum
yang terrdapat didalm nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam.
Keseluruhan hukum yang ditetapkan melalui cara seperti disebut terakhir ini
fiqh.[1]
Pentingnya
umat islam memahami ilmu fiqh dan ushul fiqh sebagai alat dalam proses
penggalian hukum islam. Ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan,
sedangkan ilmu ushul fiqh aadalah metode dan proses bagaimana menemukan status
hukum suatu perbuatan. Dengan demikian, fiqh leih bercorak produk sedangkan
ushul fiqh merupakan koleksi metodis yang sangat diperlukan untuk memproduksi
hukum.
Rumusan Masalah
1. Jelaskan objek kajian ushul fiqh?
2. Sebutkan tujuan ushul fiqh?
3. Jelaskan secara singkat sejarah ushul
fiqh?
BAB 2
PEMBAHASAN
Ø Objek kajian
ushul fiqh:
·
Nash Al-Qur’an,
As-Sunnah, pendapat para sahabat, pendapat paraq tabiin, ulama salaf maupun
ulama khalaf
·
Berbagai
meetode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama mmujtahidin dalam menerapkan
konsep dan teori sebagai alat penggali hukum silam terhadap sumber-sumbernya.
·
Semua hal yang
berkaitan dengan kriteria ulama yang dinyatakan “layak dan pantas” mmelakukan
upaya penggalian hukum islam atas penerjemahan terhadap syarat-syarat
kompetensi ulama yang dipandang memiliki kemampuan intelektual untuk menerapkan
metode tertentu dalam mengistinbath hukum.
Ø Tujuan Ushul
fiqh:
Tujuan mempelajri ushul fiqh ialah mengetahui ketetapan hukum
perbuatan tertentu didalam pelaksanaan ajaran islam. upaya untuk mengetahui
ketentuan dan ketetapan hukum yang terkandung didalam sumber ajaran islam dapat
dilakukan melalui berbagai metode. Kemudian metode tersebut dijadikan kerja
pada ulama mujtahidin baik dengan jalan yakin atau dengan jalan dugaan dan
perkiraan.
Ushul fiqh menjadi alat untuk menggali makna, maksud dan ketetapan
hukum yang secara tekstual maupun konseptual tersurat dan tersirat dalam nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Sebagaimana bahwa contoh kaidah Al-ashl fi an-nahyi litahrim
asal dari larangan itu hukumnya haram adalah firman allah dalam Al-Qur’an
Al-Baqarah ayat 168
Artinya:
Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Tujuan mempelajri ushul fiqh:[2]
1.
Memberikan
pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama Mujtahidin dalam menggali hukum
2.
Menggambarkan
persyaratan yang harus dimiliki seseorang Mujtahidinagar
mampu menggali hukum syara’ secara tepat sedangkan bagi orang awam supaya lebih
mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh mujtahidin setelah mengetahui cara mereka gunakan untuk berijtihad.
3.
Memberi bekal
untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahidin sehingga dapat memecahkan
berbagai persoalan baru.
4.
Memlihara agama
dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.
5.
Menyusun
kaidah-kaidah umum yang dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan
fenomena sosial yang terus berkembangan dimasyarakat.
6.
Mengetahui
keunggulan dan kelemahan parqa mujtahidin
sejalan dengan dalil yang mereka
gunakan.
Ø Sejarah Ushul
Fiqh
Ada diantara hadits Nabi yang memberikan
kesan beliau melkakukan ijtihad sendiri. Misalnya, mengenai kasus Umar yang
mengatakan kepada Rasulullah bahwa ia mencium istrinya sewatu berpuasa. Kepada
Umar Nabi berkata, “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan
air sewaktu kamu sedang berpuasa?” Umar menjawab “tidak apa-apa, (tidak
membatalkan puasa).” Nabi berkata lagi “Maka tetaplah kamu berpuasa.”
Peristiwa Umar dan jawaban Nabi tersebut
menetapkan tidak batalnya seorang berpuasa karena mencium istrinya dengan
menqiyaskan kepada tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.[3]
Menurut sebagian ulama, Rasulullah bisa
melakukan ijtihad berdasarkan pribadinya. Hanya saja, jika ijtihad beliau
salah. Allah akan segera menurunkan wahyu dan menunjukkan yang benar.
Sebaliknya jika terhadap hasil ijtihad nabi itu tidak turun wahyu yang
menyanggah keabsahannya, berarti ijtihad tersebut benar dan termasuk ke dalam
pengertian Al-Sunnah.
Rasulullah juga memberi izin kepada para
sahabatnya untuk melakukan hal yang sama terutama dalam menghadapi
persoalan-persoalan hukum yang ketetapan hukumnya tidak ditemui dalam A-kitab
dan Al-sunnah sementara mereka jauh dari Nabi.[4]
Hasil ijtihad sahabat tidak dapat
dijadikan sebagai sumber hukum sebagai pedoman kaum muslimin berikutnya,
kecuali ada pengesahan dari Rasulullah. Namun, dengan adanya kegiatan ijtihad
pada masa itu para sahabat dan ulama-ulama sepeninggal nabi mendapat aba-aba
bolehnya melakukan ijtihad dalam menghadapi persoalan hukum yang ketentuannya
tidak mereka temukan dalam nash.
Sepeninggal Rasulullah, banyak persoalan
baru yang muncul dan manuntut para lama untuk menetapkan hukumnya melalui upaya
ijtihad mereka sendiri, dan tidak lagi menunggu pengesahan dari Rasul. Oleh
sebab itu, semenjak masa sahabat ijtihad mulai menjadi salah satu sumber hukum
islam.
Pada masa Rasul, belum tersusun sebagai
suatu ilmu yang kelak disebut ushul fiqh.
Pada masa tabiin, tabi’ al-tabiin, dan
para imam mujtahid sekitar abad II dan III H, kekuasaan islam sudah meluas.
Semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya tidak dijumpai
didalam Alquran dan Hadits. Ditambah pula dengan pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtijhad menjadi
semarak dan maju pesat.
Dan juga menimbulkan banyak perbedaan
pendapat dan polemik-polemik ilmiah diantara para ulama. Hal lain yang
disangkal adalah pengaruh bahasa lain terhadap struktur bahasa arab. Terjadinya
penusupan bahasa-bahasa asing tertentu kedalam bahasa arab, menimbulkan ide
lain bagi para ulama itu untuk menyusun kaidah-kaidah umum yang berkaitan
dengan kebahasaan, kaidah lughawiyah.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syariah
dan lughawiyah, terwujudlah apa yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Menurut Abd Al-Wahab Khallaf, Muhammad
bin Idris Al-Syafi’i (150-102) yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu
ushul fiqh yang disertai dengan alasan-alasannya dalam sebuah kitabnya
Al-Risalah. Kemudian, setelah mazhab yang empat memasyarakat dan dianut oleh
banyak masyarakat, para fuqaha mempelajari ilmu ushul fiqh dalam dua versi
berikut ini.[5]
1. Mempelajari ushul fiqh sebagai ilmu yang
terlepas dari pengaruh furu’.
2. Mempelajari ushul fiqh dibawah pengaruh
furu’merumuskan kaidah-kaidah.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Telah dibahas sebelumnya, ushul fiqh
memiliki beberapa objek kajiannya. Ushul fiqh juga dengan tujuannya yakni mengetahui ketetapan hukum perbuatan tertentu didalam pelaksanaan
ajaran islam. upaya untuk mengetahui ketentuan dan ketetapan hukum yang terkandung
didalam sumber ajaran islam dapat dilakukan melalui berbagai metode. Kemudian
metode tersebut dijadikan kerja pada ulama mujtahidin baik dengan jalan yakin
atau dengan jalan dugaan dan perkiraan.
Dan sejarah tentang munculnya ushul fiqh, yang pada zaman
Rasulullah belum ditetapkan ushul fiqh tersebut, dan seiring waktu yang
berjalan pada saat itu juga Rasul wafat. Dilanjutkan oleh para Sahabat, Tabi’
dan Tabiin.
Banyaknya permasalahan-permasalahan hukumyang ketetetapannya tidak
dijumpai didalam Alquran dan Hadits. Maka para ulama melakukan ijtihad.
Daftar Pustaka
Syafi’i, Rachmad, Ilmu Ushul Fiqh, : Pustaka Setia, 1999.
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar