Selasa, 25 Juni 2013

Makalah Ushul Fiqh (Problematika Ushul Fiqh)


Problematika Ushul Fiqh




Disusun Oleh :

Kelompok 1

A.    Hatimi (11521001)
Utty Purnama Sari (11521704)



Dosen Pembimbing :
Yuni Melati, M.H.I




JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALEMBANG
2013
                                                                                     

BAB 1
PENDAHULUAN

Latarbelakang Masalah
            Ulama sependapata bhwa didalam syariat islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum itu ada kalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan ada kalanya pula hanya dikemukankan dalam bentuk dalill-dalil dan kaidah-kaidah secara umum.
            Unttuk memahami hukum islam dalam bentuk yang disebut pertama tidak diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya, karna memang sudah jelas dan tegas disebut oleh allah. Hukum islam dalam bentuk ini disebut wahyu murni. Adapun untuk mengetahui hukum islam dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang sunggguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terrdapat didalm nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Keseluruhan hukum yang ditetapkan melalui cara seperti disebut terakhir ini fiqh.[1]
            Pentingnya umat islam memahami ilmu fiqh dan ushul fiqh sebagai alat dalam proses penggalian hukum islam. Ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, sedangkan ilmu ushul fiqh aadalah metode dan proses bagaimana menemukan status hukum suatu perbuatan. Dengan demikian, fiqh leih bercorak produk sedangkan ushul fiqh merupakan koleksi metodis yang sangat diperlukan untuk memproduksi hukum. 

Rumusan Masalah
1.      Jelaskan objek kajian ushul fiqh?
2.      Sebutkan tujuan ushul fiqh?
3.      Jelaskan secara singkat sejarah ushul fiqh?







BAB 2
PEMBAHASAN


Ø  Objek kajian ushul fiqh:
·         Nash Al-Qur’an, As-Sunnah, pendapat para sahabat, pendapat paraq tabiin, ulama salaf maupun ulama khalaf
·         Berbagai meetode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama mmujtahidin dalam menerapkan konsep dan teori sebagai alat penggali hukum silam terhadap sumber-sumbernya.
·         Semua hal yang berkaitan dengan kriteria ulama yang dinyatakan “layak dan pantas” mmelakukan upaya penggalian hukum islam atas penerjemahan terhadap syarat-syarat kompetensi ulama yang dipandang memiliki kemampuan intelektual untuk menerapkan metode tertentu dalam mengistinbath hukum.

Ø  Tujuan Ushul fiqh:
Tujuan mempelajri ushul fiqh ialah mengetahui ketetapan hukum perbuatan tertentu didalam pelaksanaan ajaran islam. upaya untuk mengetahui ketentuan dan ketetapan hukum yang terkandung didalam sumber ajaran islam dapat dilakukan melalui berbagai metode. Kemudian metode tersebut dijadikan kerja pada ulama mujtahidin baik dengan jalan yakin atau dengan jalan dugaan dan perkiraan.
Ushul fiqh menjadi alat untuk menggali makna, maksud dan ketetapan hukum yang secara tekstual maupun konseptual tersurat dan tersirat dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana bahwa contoh kaidah Al-ashl fi an-nahyi litahrim asal dari larangan itu hukumnya haram adalah firman allah dalam Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 168

Artinya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.


Tujuan mempelajri ushul fiqh:[2]
1.      Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama Mujtahidin dalam menggali hukum
2.      Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seseorang Mujtahidinagar mampu menggali hukum syara’ secara tepat sedangkan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh mujtahidin setelah mengetahui cara mereka gunakan untuk berijtihad.
3.      Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahidin sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.
4.      Memlihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.
5.      Menyusun kaidah-kaidah umum yang dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembangan dimasyarakat.
6.      Mengetahui keunggulan dan kelemahan parqa mujtahidin  sejalan dengan dalil yang mereka gunakan.


Ø  Sejarah Ushul Fiqh

Ada diantara hadits Nabi yang memberikan kesan beliau melkakukan ijtihad sendiri. Misalnya, mengenai kasus Umar yang mengatakan kepada Rasulullah bahwa ia mencium istrinya sewatu berpuasa. Kepada Umar Nabi berkata, “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan air sewaktu kamu sedang berpuasa?” Umar menjawab “tidak apa-apa, (tidak membatalkan puasa).” Nabi berkata lagi “Maka tetaplah kamu berpuasa.”
Peristiwa Umar dan jawaban Nabi tersebut menetapkan tidak batalnya seorang berpuasa karena mencium istrinya dengan menqiyaskan kepada tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.[3]
Menurut sebagian ulama, Rasulullah bisa melakukan ijtihad berdasarkan pribadinya. Hanya saja, jika ijtihad beliau salah. Allah akan segera menurunkan wahyu dan menunjukkan yang benar. Sebaliknya jika terhadap hasil ijtihad nabi itu tidak turun wahyu yang menyanggah keabsahannya, berarti ijtihad tersebut benar dan termasuk ke dalam pengertian Al-Sunnah.
Rasulullah juga memberi izin kepada para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang ketetapan hukumnya tidak ditemui dalam A-kitab dan Al-sunnah sementara mereka jauh dari Nabi.[4]
Hasil ijtihad sahabat tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum sebagai pedoman kaum muslimin berikutnya, kecuali ada pengesahan dari Rasulullah. Namun, dengan adanya kegiatan ijtihad pada masa itu para sahabat dan ulama-ulama sepeninggal nabi mendapat aba-aba bolehnya melakukan ijtihad dalam menghadapi persoalan hukum yang ketentuannya tidak mereka temukan dalam nash.
Sepeninggal Rasulullah, banyak persoalan baru yang muncul dan manuntut para lama untuk menetapkan hukumnya melalui upaya ijtihad mereka sendiri, dan tidak lagi menunggu pengesahan dari Rasul. Oleh sebab itu, semenjak masa sahabat ijtihad mulai menjadi salah satu sumber hukum islam.
Pada masa Rasul, belum tersusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut ushul fiqh.
Pada masa tabiin, tabi’ al-tabiin, dan para imam mujtahid sekitar abad II dan III H, kekuasaan islam sudah meluas. Semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya tidak dijumpai didalam Alquran dan Hadits. Ditambah pula dengan pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtijhad menjadi semarak dan maju pesat.
Dan juga menimbulkan banyak perbedaan pendapat dan polemik-polemik ilmiah diantara para ulama. Hal lain yang disangkal adalah pengaruh bahasa lain terhadap struktur bahasa arab. Terjadinya penusupan bahasa-bahasa asing tertentu kedalam bahasa arab, menimbulkan ide lain bagi para ulama itu untuk menyusun kaidah-kaidah umum yang berkaitan dengan kebahasaan, kaidah lughawiyah.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syariah dan lughawiyah, terwujudlah apa yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Menurut Abd Al-Wahab Khallaf, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (150-102) yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh yang disertai dengan alasan-alasannya dalam sebuah kitabnya Al-Risalah. Kemudian, setelah mazhab yang empat memasyarakat dan dianut oleh banyak masyarakat, para fuqaha mempelajari ilmu ushul fiqh dalam dua versi berikut ini.[5]
1.      Mempelajari ushul fiqh sebagai ilmu yang terlepas dari pengaruh furu’.
2.      Mempelajari ushul fiqh dibawah pengaruh furu’merumuskan kaidah-kaidah.
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Telah dibahas sebelumnya, ushul fiqh memiliki beberapa objek kajiannya. Ushul fiqh juga dengan tujuannya yakni mengetahui ketetapan hukum perbuatan tertentu didalam pelaksanaan ajaran islam. upaya untuk mengetahui ketentuan dan ketetapan hukum yang terkandung didalam sumber ajaran islam dapat dilakukan melalui berbagai metode. Kemudian metode tersebut dijadikan kerja pada ulama mujtahidin baik dengan jalan yakin atau dengan jalan dugaan dan perkiraan.
Dan sejarah tentang munculnya ushul fiqh, yang pada zaman Rasulullah belum ditetapkan ushul fiqh tersebut, dan seiring waktu yang berjalan pada saat itu juga Rasul wafat. Dilanjutkan oleh para Sahabat, Tabi’ dan Tabiin.
Banyaknya permasalahan-permasalahan hukumyang ketetetapannya tidak dijumpai didalam Alquran dan Hadits. Maka para ulama melakukan ijtihad.



















Daftar Pustaka
Syafi’i, Rachmad, Ilmu Ushul Fiqh, : Pustaka Setia, 1999.
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

































[1]              Alaiddin  Koto, ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta:  Pt. Rajagrafindo persada hlm 1
[2]Rachmat Syafi’i, ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, 1999, hlm. 23
[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004 hlm 27-33

[5]Ibid., hlm 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar