Makalah Epistimologi Islam
Epistimologi & Aksiologi ilmu dalam Al-Qur’an
Disusun oleh :
A. Hatimi (11521001)
Dosen Pembimbing :
Dra. Nuraidah M.Ag
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN FATAH PALEMBANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Tak dapat dipungkiri, ilmu memiliki kontribusi yang amat penting bagi kehidupan manusia. Rasa ingin tahu manusia yang menjadi titik-titik perjalanan manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Proses berfilsafatlah yang menjadi titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan. Kemudian dirumuskanlah sebuah teori pengetahuan dimana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi beberapa bagian.
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam kehidupan manusia. Dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Merupakan kenyataan bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.
Ilmu pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat, dan kelestarian manusia. Pengembangan ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain. Manusia seakan belum puas terhadap rasa keingintahuannya yang seolah tak berujung dan menjebak manusia ke bagian kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam penggunaan ilmu pengetahuan diperlukan adanya nilai-nilai moral.
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan. Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang ontologis, epistomologis dan aksiologi. Dalam kajian aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan untuk siapa.
Al-Quran merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan dalam studi islam. Salah satu fungsi Al-Quran adalah sebagai Huda (petunjuk), yakni sebagai pemberi jalan bagi orang-orang yang mengharap ridlo Allah. Selain itu Al-Quran juga berfungsi sebagai furqan (pembeda) yang menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.
2. Rumusan Masalah
1. Pengertian Epistimologi dan epistimologi ilmu dalam Al-Qur’an?
2. Pengertian aksiologi dan aksiologi ilmu dalam Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Epistimologi
Membicarakan filsafat pengetahuan kita tiak dapat menghindarkan diri dari pembicaraan mengenai filsafat itu sendir sebab, filsafat pengetahuan merupakan cabang dari filsafat. Ditinjau dari segi etimologinya, epistimologi berasal dari kata Yunani episteme dan logos, episteme berarti pengetahuan sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Berhubungan dengan pengertian filsafat pengetahuan lebih tepat logos diterjemahkan dalam arti teori jadi epistimologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan dalam bahasa inggris istilah theory of knowledge.Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat-sifat, metoda dan keahlian pengetahuan. Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan dan bagaiamana ilmu pengetahuan itu.
Untuk mempelajari Al Quran secara menyeluruh, kaum muslimin harus mengetahui ruang lingkup pembahasan ‘‘Ulum Al-Quran serta metode yang digunakan oleh para Ulama dalam memperoleh ilmu-ilmu tersebut. Sebagai sebuah ilmu, Al-Quran tentunya dapat ditelaah berdasarkan ilmu pengetahuan yang bertumpu pada tiga cabang filsafat yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Landasan ontologi berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang kenyataan, landasan epistemologi memberikan pemahaman tentang sumber dan sarana pengetahuan manusia dan aksiologi yang memberikan suatu pemahaman tentang nilai hubungan kualitas objek dengan subjek.. Hasil kajian pada masalah ini, menunjukkan bahwa ‘Ulum Al-Quran mampu menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan seputar landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sehingga hal ini tentunya akan semakin mempertebal keimanan seorang muslim terhadap Al-Quran sebagai kitab sucinya.
Epistemologi ilmu dalam Al-Quran
Epistemologis dipahami sebagai sarana untuk meneliti prosedur-prosedur metodologis yang dibangun oleh beragam asumsi dengan cara mengkritisi serta mempertanyakan atau menguji kembali pengetahuan itu sendiri.
Sejarah perkembangan ‘Ulum Al-Quran dapat pula ditinjau dari sudut metode ‘Ulum Al-Quran. Walaupun disadari bahwa setiap fase mempunyai metode yang berbeda dalam penggalian ‘Ulum Al-Quran.
1. Fase Sebelum Kodifikasi Qabl ‘Ashr At-Tadwin
Pada Fase Sebelum Kodifikasi, ‘Ulum Al-Quran sudah terasa semenjak Nabi Muhammad SAW masih ada. Setiap Rasulullah selesai menerima wahyu ayat Al-Quran, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al-Quran kepada mereka dengan sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau serta dengan akhlak-akhlak dan sifat beliau.
2. Fase Kodifikasi
Pada fase ini, ‘‘Ulum Al-Quran dan kitab-kitab keilmuan mulai dikodifikasi. Fenomena ini berlangsung ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abul Aswad Ad-Da’uli untuk menulis ilmu nahwu. Setelah itu pengkodifikasian ilmu semakin marak, terlebih-lebih pada masa pemerintahan bani Umayyah dan Bani ‘Abasiyyah.
Dengan demikian pada fase inilah terjadi perkembangan ‘Ulum Al-Quran yang menghasilkan ‘Ulum Al-Quran yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. ‘Ulum Al-Quran meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Quran, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Quran. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ‘Ulum Al-Quran terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-Quran dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Quran mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah :
Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Metodologi ‘Ulum Al-Quran pada fase kodifikasi ini, secara umum terbagi atas dua bagian yaitu :
2.1 Metode Transmisi (periwayatan).
Pada metode ini cara yang digunakan untuk mendapatkan ilmu ini adalah berdasarkan periwayatan dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran yang dimaksud. Cabang- cabang ‘‘Ulum Al-Quran yang menggunakan metode ini adalah : Asbab An-Nuzul, Makkiyyah dan Madaniyyah, Ilmu Qiraat, ilmu Nasikh-Mansukh.
2.2 Metode Analogi (Ijtihad).
Pada metode ini cara yang digunakan untuk mendapatkan ilmu ini adalah berdasarkan ijtihad jika tidak ditemukannya riwayat baik dari Nabi maupun para sahabat. Oleh karena itu tidak ada keharusan mencari riwayat pada setiap ayat. Hal ini disebabkan, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian yang ada. Sehingga seorang mufassir terkadang tidak menemukan sebab, pengertian dan keterkaitan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.. Cabang- cabang ‘‘Ulum Al-Quran yang menggunakan metode ini adalah : Asbab An-Nuzul, Munasabah, Makkiyyah dan Madaniyyah, ilmu Nasikh-Mansukh, ilmu I’jazul Quran
Pengertian Aksiologi
Secara harfiah , aksiologi berasal dari dua kata, aksio (yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai” Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang nilai (Value) sebagai imperative dalam penerapan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai suatu kesatuan menampakkan diri secara dimensional, yakni sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Dalam pandangan Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Menurutnya bahwa, ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasainya. Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi.
Aksiologi ilmu dalam Al-Qur’an
Dalam konteks kajian ini, Al-qur’an memberi gambaran bahwa penciptaan alam semesta dan seisinya, termasuk di dalamnya manusia, tidak dengansia-sia, melainkan dengan satu tujuan, meskipun Al-Qur’an sendiri tidak menyatakan secara jelas, namun melalui isyarat-isyarat yang dapat ditangkap oleh manusia. Misalnya Al-Qur’an secara berulang-ulang menyebutkan bahwa langit dan bumi dengan segala yang ada di antara keduanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, agar manusia mengabdi kepada-Nya dan tidak menyombongkan diri. Manusia merupakan makhluk yang paling istimawa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikaruniainya akal, manusia dapat mengembangkab bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengekoka alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Salain itu manusia juga dilengkapi unsur lain yaitu qalbu (hati) dengan qalbunya manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran ilahi secara spiritual dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qalbu dan potensi-potensi lain untuk digunaakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.
Dan semua yang diciptakan Allah itu ditundukkan untuk manusia. Dengan harapan bahwa, manusia mampu memanfaatkannya dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Misalnya dalam ayat: “Dan kami tidak menjadikan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya melainkan dengan kebenaran. Dan sungguh hari kiamat pasti akan datang; maka maafkanlah (mereka) dengan cara baik” (Q.S. AL-Hijr [15]: 85); juga ayat: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduanya dengan main-main” (QS. Al-Anbiya’[2]:16).
Beberapa hal yang perlu digaris bawahi yang berkaitan dengan manusia, yaitu:
1. Manusia itu sangat beragam sekali, mulai dari hakikatnya sebagai makhluk Allah SWT dan hakikatnya sebagai makhluk sosial. Pandangan tentang manusia itu dapat dilihat dari 2 perspektif, yaitu :
1) Perspektif Al- Qur’an terdiri dari :
Konsep Al Basyr.
Dalam konsep ini manusia dipandang sebagai makhluk yang tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dalam hal ini kita kenal proses dan frase perkembangan manusia, yaitu prenatal (sebelum lahir), proses pencotaan manusia berawal dari pembuahan(pemnuahan dengan sperma) didalam rahim, pembuatan fisik (Qs. 23:12-14). Kedua, postnatal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa, dan usia lanjut (Qs. 40:67).
Konsep Al Insan.
Dalam konsep ini manusia dipandang mempunyai poternsi untuk mengenmbangkan dirinya. Potensi manusia menurut konsep Al Insan diarahka kepada upaya mendorong manusia unntuk berkreasi dan berinovasi.
Konsep Al Nash
Dalam konsep Al Nash pada umumnya dihubbungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.
Konsep Bani Adam
konsep Bani Adam dalam konsep menyeluruh adalah pengakuan terhadap spesis manusia yang mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kamanusiaan.
Konsep Al Ins Manusia
Dalam konsep ini adalah kebalikan dari kata jin. Manusia hidup penuh dengan keteraturan. Hidupnya jelas yang dapat terindrakan.
Konsep Abd Allah
Manusia dalam konsep ini merupakan hamba, yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah. Yaitu denagn menaati segala aturan-aturan Allah.
Konsep Kholifah Allah
Manusia menurut statusnya sebagai khalifah setidak-tidaknya terdiri dari 2 jalur, yaitu horizontal dan vertikal.
2) Perspektif filsafat
Dalam perspektif filsafat, konsep manusia menurut Jalaluddin mencakup ruang lingkup kosmologi ( bagian dari alam semesta), antologi (pengabdi penciptanya), philoshopy of mind (potensi), epistemology (proses pertumnuhan dan perkembangan potensi) dan aksiologi (terikat nilai-nilai). Selain itu para ahli filafat menamai manusia berdasarkan potensinya, yaitu:
• Homo sapien, makhlu yang mempunyai budi
• Animal Rtion, binatang yang berfikir.
• Homo laquen, makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dak perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
• Homo faber, makhluk yang terampil, pandai membuat perkakas.
• Aoon politicon, makhluk yang pandai bekerja sama, bergaul denganorang lain dan mengorganisasikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
• Homo economicus, makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
• Homo religius, makhluk yang beragama.
Adapun penciptaan manusia, Al-Qur’an sendiri memberi penggambaran bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi dan menyembah Allah dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di akhirat, sebagaimana di firmankan :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya di akhirat ini mendapat perhatian yang cukup besar di dalam Al-Qur’an, karena hal itu termasuk bagian rukun iman yang ke enam, yakni percaya kepada hari akhir. Misalnya difirmankan dalam ayat:
Maka Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
• •
93. Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba. 94. Sesungguhnya Allah Telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. 95. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. 96. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.
Bahkan dalam konteks ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia tidak hanya sekedar untuk mencapai kebenaran dan kemashlahatan hidup di dunia saja, melainkan lebih jauh dari itu untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat, sebagaimana difirmankandalam surat (QS. Al_baqarah [2] : 201) juga ayat (QS. AL-Ankabut[29] : 64.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ditinjau dari segi etimologinya, epistimologi berasal dari kata Yunani episteme dan logos, episteme berarti pengetahuan sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Berhubungan dengan pengertian filsafat pengetahuan lebih tepat logos diterjemahkan dalam arti teori jadi epistimologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan dalam bahasa inggris istilah theory of knowledge. Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat-sifat, metoda dan keahlian pengetahuan.
Dalam sudut pandang epistemologis, Sejarah perkembangan ‘Ulum Al-Quran dapat pula ditinjau dari sudut metode ‘Ulum Al-Quran. Setiap fase mempunyai metode yang berbeda dalam penggalian ‘Ulum Al-Quran. Fase-fase tersebut adalah : Fase Sebelum Kodifikasi Qabl ‘Ashr At-Tadwin dan Fase Kodifikasi. Metodologi ‘Ulum Al-Quran pada fase kodifikasi ini, secara umum terbagi atas dua bagian yaitu : Metode Transmisi (periwayatan) dan Metode Analogi (Ijtihad).
Aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang nilai (Value) sebagai imperative dalam penerapan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai suatu kesatuan menampakkan diri secara dimensional, yakni sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk.
Al-qur’an memberi gambaran bahwa penciptaan alam semesta dan seisinya, termasuk di dalamnya manusia, tidak dengansia-sia, melainkan dengan satu tujuan, meskipun Al-Qur’an sendiri tidak menyatakan secara jelas, namun melalui isyarat-isyarat yang dapat ditangkap oleh manusia. Misalnya Al-Qur’an secara berulang-ulang menyebutkan bahwa langit dan bumi dengan segala yang ada di antara keduanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, agar manusia mengabdi kepada-Nya dan tidak menyombongkan diri.
Daftar Pustaka
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Remaja Rosda Karya, Bandung 2004.
Rosihon Anwar. Ulum Al-Quran, Pustaka Setia,Bandung, 2008.
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut,t.t., Jilid I.
Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani , Manahil Al-‘Urfan Fi’Ulum Al-Quran, Gaya Media Pratama,Jakarta, 2001.
http://jaringskripsi.wordpress.com/tag/aksiologi/
Hadi Masruri_filsafat sains dalam Al Qur’an, UIN Malang Press, Malang, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar