BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sejak kehadirannya di muka bumitelah diberikan potensi untuk dapat menghadapi kehidupan. Sebagaimana telah diketahui bahwasannya Adam telah diberi pengetahuan tentang segala sesuatu dari alam ini, dimana makhluk Allah SWT yang lain tidak mampu untuk menyebutkan apalagi sampai kepada yang lebih tinggi dari itu (menganalisis, sintesis, evaluasi dan kreasi) Hal ini terjadi karena Allah SWT menjadikannya Khalifah dan melengkapinya dengan akal pikiran yang dinamis, perangkat kehidupan yaitu pendengaran, pengelihatan dan hati.
Manusia dengan potensi yang dimilikinya mampu
mengembangkan pengetahuan dalam rangka mengatasi kebutuhan hidup dan bahkan lebih dari itu manusia mampu mengembangkan kebudayaan, memberi makna pada kehidupan dan dia memiliki tujuan dalam kehidupan.
Perkembangan pengetahuan manusia dapat terjadi karena manusia memiliki bahasa yang dapat mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yangmelatarbelakangi informasi tersebut.Selain itu manusia memiliki kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu yang disebut penalaran.
Dalam perkembangan pengetahuan tidaklah lepas dari penalaran, wahyu , dan ilham. Oleh karna itu kami dapat merumuskan suatu masalah sbb.
1. Bagaimana peran penalaran dalam ilmu pengetahuan?
2. Seberpa pentingkah peran wahyu dan ilham dalam ilmu pengetahuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran penalaran dalam ilmu pengetahuan
bila kita rangkum potensi manusia untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah berupa:
1) Indera eksternal, atau yang biasa dikenal dengan panca indera, dimana dengan indera ini pengamatan dan ekperimen dapat dilakukan.
2) Intelektual, atau biasa disebuat dengan rasio (logika), dan tentunya yang tidak dikotori dengan sifat-sifat buruk yang menguasai kehendak-kehendak dan khayalan-khayalan, serta bebas dari peniruan buta (taqlid).
3) Inspirasi, hal ini berada di luar dari kemampuan nalar manusia, karena datangnya atau kehadirannya bisa begitu saja datang atau secara tiba-tiba saja terbesit di dalam benak kita (tanpa proses pembelajaran).
Ketiga potensi yang ada pada manusia diatas, saling menunjang antara yang satu dengan yang lain.Indera untuk mengamati atau observasi terhadap gejala-gejala alam, kemudian rasio untuk berfikir tentang rahasia di balik fenomena alam yang beaneka ragam, dan imajinasi untuk mengembangkan hasil- hasil penemuannya, dan dari hasil penemuan-penemuan yang diperolehnya itu, selanjutnya diolah, diteliti lebih lanjut, dan yang kemudian diterapkan menjadi teknologi seperti yang ada sekarang ini, salah satunya adalah apa yang sedang kita pergunakan sa’at ini (internet).
Jadi jelaslah kiranya dari uraian-uraian diatas, bahwa Al-Qur’an memberikan peluang kepada manusia untuk menggunakan pengamatan dan penalarannya untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mansur Malik mengemukakan konsep penalaran ilmiah dalam Al-Qur’an, sebagai berikut (Mansur Malik, Penlaran Ilmiah dalam Al-Qur’an, Disertasi, IAIN, Jakarta, 1989):
1) Penalaran ilmiah dalam Al-Qur’an, ialah upaya untuk menarik pada suatu kesimpulan, ada kalanya melalui kerja-sama antara akal (rasio) dengan panca indera, atau hanya dengan mempergunakan daya akal dengan cara menghubungkan pengertian-pengertian yang terkait dalam suatu hal.
2) Alasan-alasan yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan ialah:
Alasan-alasan yang bersifat induktif, artinya dari fakta-fakta yang khusus ditarik pada kesimpulan yang umum.
Alasan yang bersifat deduktif, yakni penafsiran kesimpulan berdasarkan ketentuan umum yang telah diakui kebenarannya.
Al-Qur’an juga mengisyaratkan diperlukannya penalaran yang bersifat analistis, yaitu penalaran mengenai obyek pikir atas bagian untuk mengenal hakikat, sifat, atau peran masing-masing bagian tersebut. Dengan kata lain, hakekat; menggambarkan esensi pokok keberadaan suatu wujud: ciri, sifat dan fungsi dari wujud tersebut baik secara internal maupun wujud eksternal.
B. Peran Wahyu dan Ilham Dalam Ilmu Pengetahuan
Seiring dengan petunjuk-petunjuk bagaimana cara berfikir yang baik, Al-Qur-an juga mengingatkan kesalahan-kesalahan dalam berfikir, terutama kesalahan yang disebabkan subyektifitas pemikir atau karena faktor penginderaan kita yang acapkali keliru atau terbatas kemampuannya.
Untuk itu, patutlah kita menyadari betapa lemah dan terbatasnya potensi inderawi kita, dan begitu pula halnya dengan rasio yang juga tidak mampu menangkap hal-hal diluar jangkauannya, maka satu-satunya cara adalah dengan bantuan petunjuk Allah Ta’ala berupa wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, wahyu memegang perananan penting, manakala manusia biasa tidak lagi mampu mengungkap kebenaran melalui pengamatan maupun penalaran, dikarenakan ada beberapa hal yang memang tidak mungkin indera atau rasio (logika) dapat mengungkapkannya. Oleh karena manusia biasa tidak bisa atau tidak dapat menerima wahyu sebagaimana para Nabi dan Rasul, maka diturunkanlah Al-Qur’an melalui Rasulullah sebagai“ wahana konsultatif ” untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dengan keyakinan bahwa kebenaran Al-Qur’an adalah “mutlak”, namun untuk mencapai kebenaran tersebut manusia memerlukan upaya bukan hanya orang perorang, dan disamping itu juga bilamana perlu, dengan menggunakan pendekatan “inter-disipliner”, artinya untuk memecahkan persoalan hidup manusia baik masa kini maupun untuk masa yang akan datang, terutama berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Bila wahyu itu merupakan petunjuk langsung yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, maka praktis para manusia biasa (termasuk ilmuwan), tidak mungkin mendapatkan wahyu, tidak juga orang-orang yang mengaku telah memperoleh wahyu, seperti apa yang akhir-akhir ini berkembang ditengah masyarakat kita yang jelas-jelas menyesatkan. Alasannya jelas dan tegas, bahwa Allah ta’ala tidak mengutus Nabi atau Rasul-Nya lagi, setelah Rasulullah Muhammad s.a.w, yang adalah penutup para Nabi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya dan perkembangan pengetahuan tidaklah lepas dari penalaran (rasio), wahyu, dan ilham. Dengan adanya penalaran atau rasio manusia bisa mebuat sesuatu seperti hal ianternet
Wahyu ilham memegang peranan penting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bila menghadapi persoalan yang belum dapat atau tidak bisa dipecahkan oleh kemampuan indera maupun rasio. agar manusia tidak tersesat karena hanya mengandalkan kemampuannya, maka wahyu merupakan penuntun ke jalan yang benar.
\
DAFTAR PUSTAKA
QS. 22: 46
Mustansir , Rizal, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Belukar),2001
Malik. Mansur, Penlaran Ilmiah dalam Al-Qur’an, Jakarta, 1989
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sejak kehadirannya di muka bumitelah diberikan potensi untuk dapat menghadapi kehidupan. Sebagaimana telah diketahui bahwasannya Adam telah diberi pengetahuan tentang segala sesuatu dari alam ini, dimana makhluk Allah SWT yang lain tidak mampu untuk menyebutkan apalagi sampai kepada yang lebih tinggi dari itu (menganalisis, sintesis, evaluasi dan kreasi) Hal ini terjadi karena Allah SWT menjadikannya Khalifah dan melengkapinya dengan akal pikiran yang dinamis, perangkat kehidupan yaitu pendengaran, pengelihatan dan hati.
Manusia dengan potensi yang dimilikinya mampu
mengembangkan pengetahuan dalam rangka mengatasi kebutuhan hidup dan bahkan lebih dari itu manusia mampu mengembangkan kebudayaan, memberi makna pada kehidupan dan dia memiliki tujuan dalam kehidupan.
Perkembangan pengetahuan manusia dapat terjadi karena manusia memiliki bahasa yang dapat mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yangmelatarbelakangi informasi tersebut.Selain itu manusia memiliki kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu yang disebut penalaran.
Dalam perkembangan pengetahuan tidaklah lepas dari penalaran, wahyu , dan ilham. Oleh karna itu kami dapat merumuskan suatu masalah sbb.
1. Bagaimana peran penalaran dalam ilmu pengetahuan?
2. Seberpa pentingkah peran wahyu dan ilham dalam ilmu pengetahuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran penalaran dalam ilmu pengetahuan
bila kita rangkum potensi manusia untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah berupa:
1) Indera eksternal, atau yang biasa dikenal dengan panca indera, dimana dengan indera ini pengamatan dan ekperimen dapat dilakukan.
2) Intelektual, atau biasa disebuat dengan rasio (logika), dan tentunya yang tidak dikotori dengan sifat-sifat buruk yang menguasai kehendak-kehendak dan khayalan-khayalan, serta bebas dari peniruan buta (taqlid).
3) Inspirasi, hal ini berada di luar dari kemampuan nalar manusia, karena datangnya atau kehadirannya bisa begitu saja datang atau secara tiba-tiba saja terbesit di dalam benak kita (tanpa proses pembelajaran).
Ketiga potensi yang ada pada manusia diatas, saling menunjang antara yang satu dengan yang lain.Indera untuk mengamati atau observasi terhadap gejala-gejala alam, kemudian rasio untuk berfikir tentang rahasia di balik fenomena alam yang beaneka ragam, dan imajinasi untuk mengembangkan hasil- hasil penemuannya, dan dari hasil penemuan-penemuan yang diperolehnya itu, selanjutnya diolah, diteliti lebih lanjut, dan yang kemudian diterapkan menjadi teknologi seperti yang ada sekarang ini, salah satunya adalah apa yang sedang kita pergunakan sa’at ini (internet).
Jadi jelaslah kiranya dari uraian-uraian diatas, bahwa Al-Qur’an memberikan peluang kepada manusia untuk menggunakan pengamatan dan penalarannya untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mansur Malik mengemukakan konsep penalaran ilmiah dalam Al-Qur’an, sebagai berikut (Mansur Malik, Penlaran Ilmiah dalam Al-Qur’an, Disertasi, IAIN, Jakarta, 1989):
1) Penalaran ilmiah dalam Al-Qur’an, ialah upaya untuk menarik pada suatu kesimpulan, ada kalanya melalui kerja-sama antara akal (rasio) dengan panca indera, atau hanya dengan mempergunakan daya akal dengan cara menghubungkan pengertian-pengertian yang terkait dalam suatu hal.
2) Alasan-alasan yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan ialah:
Alasan-alasan yang bersifat induktif, artinya dari fakta-fakta yang khusus ditarik pada kesimpulan yang umum.
Alasan yang bersifat deduktif, yakni penafsiran kesimpulan berdasarkan ketentuan umum yang telah diakui kebenarannya.
Al-Qur’an juga mengisyaratkan diperlukannya penalaran yang bersifat analistis, yaitu penalaran mengenai obyek pikir atas bagian untuk mengenal hakikat, sifat, atau peran masing-masing bagian tersebut. Dengan kata lain, hakekat; menggambarkan esensi pokok keberadaan suatu wujud: ciri, sifat dan fungsi dari wujud tersebut baik secara internal maupun wujud eksternal.
B. Peran Wahyu dan Ilham Dalam Ilmu Pengetahuan
Seiring dengan petunjuk-petunjuk bagaimana cara berfikir yang baik, Al-Qur-an juga mengingatkan kesalahan-kesalahan dalam berfikir, terutama kesalahan yang disebabkan subyektifitas pemikir atau karena faktor penginderaan kita yang acapkali keliru atau terbatas kemampuannya.
Untuk itu, patutlah kita menyadari betapa lemah dan terbatasnya potensi inderawi kita, dan begitu pula halnya dengan rasio yang juga tidak mampu menangkap hal-hal diluar jangkauannya, maka satu-satunya cara adalah dengan bantuan petunjuk Allah Ta’ala berupa wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, wahyu memegang perananan penting, manakala manusia biasa tidak lagi mampu mengungkap kebenaran melalui pengamatan maupun penalaran, dikarenakan ada beberapa hal yang memang tidak mungkin indera atau rasio (logika) dapat mengungkapkannya. Oleh karena manusia biasa tidak bisa atau tidak dapat menerima wahyu sebagaimana para Nabi dan Rasul, maka diturunkanlah Al-Qur’an melalui Rasulullah sebagai“ wahana konsultatif ” untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dengan keyakinan bahwa kebenaran Al-Qur’an adalah “mutlak”, namun untuk mencapai kebenaran tersebut manusia memerlukan upaya bukan hanya orang perorang, dan disamping itu juga bilamana perlu, dengan menggunakan pendekatan “inter-disipliner”, artinya untuk memecahkan persoalan hidup manusia baik masa kini maupun untuk masa yang akan datang, terutama berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Bila wahyu itu merupakan petunjuk langsung yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, maka praktis para manusia biasa (termasuk ilmuwan), tidak mungkin mendapatkan wahyu, tidak juga orang-orang yang mengaku telah memperoleh wahyu, seperti apa yang akhir-akhir ini berkembang ditengah masyarakat kita yang jelas-jelas menyesatkan. Alasannya jelas dan tegas, bahwa Allah ta’ala tidak mengutus Nabi atau Rasul-Nya lagi, setelah Rasulullah Muhammad s.a.w, yang adalah penutup para Nabi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya dan perkembangan pengetahuan tidaklah lepas dari penalaran (rasio), wahyu, dan ilham. Dengan adanya penalaran atau rasio manusia bisa mebuat sesuatu seperti hal ianternet
Wahyu ilham memegang peranan penting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bila menghadapi persoalan yang belum dapat atau tidak bisa dipecahkan oleh kemampuan indera maupun rasio. agar manusia tidak tersesat karena hanya mengandalkan kemampuannya, maka wahyu merupakan penuntun ke jalan yang benar.
\
DAFTAR PUSTAKA
QS. 22: 46
Mustansir , Rizal, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Belukar),2001
Malik. Mansur, Penlaran Ilmiah dalam Al-Qur’an, Jakarta, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar