Jumat, 31 Oktober 2014

Bedah Mayat

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan baru hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum bedah mayat menurut pandangan hukum Islam. Di dalam nash tidak ditemukan keterangan yang shahih tentang hukum melakukan pembedahan mayat, sebab bedah mayat seperti di zaman sekarang ini belum dikenal di masa lalu. Yang ditemukan hanya dalil-dalil dari Sunnah Nabawiah yang berbicara tentang larangan merusak tulang mayat. Selain itu terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat. Hanya saja masalahnya tidak sama persis dengan kasus otopsi. Pembedah perut mayat dilakukan bila mayat itu menelan harta atau didalamnya ada janin yang diyakini masih hidup. Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode membedah atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Sering terjadi dengan yang namanya otopsi atau bedah mayat. Biasanya mayat yang mati karena kasus atau pembunuhan atau juga kecelakaan yang sering terjadi. Hukumnya dalam Islam masih di perdebatkan para ulama. Sebenarnya apa sih tujuannya. Dan jika memang untuk kepentingan negara terus bagaimana dengan mayatnya. Padahal namanya orang mati itu sakitnya luar biasa. Apalagi sampai di otopsi atau di bedah. Pada makalah akan sedikit menjelaskan tentang bagaimana hukumnya membedah (mengotopsi) seseorang yang telah meninggal dunia. Karena manusia harus dihargai walaupun sudah meninggal sekalipun. Karena biasanya sesudah terjadi suatu peristiwa baru dipikirkan pemecahannya dan menetapkan hukumnya. B. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian dari bedah mayat ? 2. Apa tujuan dari pembedahan mayat ? 3. Bagaimanakah hukum pembedahan mayat menurut Islam ? PEMBAHASAN A. PENGERTIAN BEDAH MAYAT Secara etimologi bedah mayat adalah pengobatan dengan jalan memotong bagian tubuh seseorang. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Al-Jirahah yang berarti melukai, mengiris, atau operasi pembedahan. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah autopsy, yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab kematian. Kata autopsy juga berasal dari bahasa Latin, autopsia yang berarti bedah mayat. Dari pengertian secara etimologi dapat dikatakan bahwa autopsy adalah pembedahan mayat guna pemeriksaan dalam. Sedangkan secara terminologi bedah mayat adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam. Setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal . Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau kepentingan tertentu. Jadi, bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang, walaupun hanya sekedar mengambil barang dari tubuh (perut) mayat itu. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat. Apalagi yang ada hubungannya dengan ilmiah pengetahuan dan penegakan hukum . B. TUJUAN PEMBEDAHAN MAYAT Ditinjau dari aspek dan tujuannya bedah mayat dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : a. Bedah Mayat Pendidikan Ialah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh oleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan praktikum tentang ilmu viral tubuh manusia (anatomi). Praktek yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran untuk mengetahui seluk-beluk organ tubuh manusia. Agar bisa mendeteksi organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit untuk mengobatinya sedini mungkin atau tujuan lainnya seperti untuk mengetahui penyebab kematiannya seiring maraknya dunia kriminal saat ini, dengan membedah jasad manusia. Dari hal di atas maka timbullah pertanyaan besar “Apakah hal ini dibolehkan secara Syar’i atau tidak, bila yang dibedah adalah mayat muslim” karena praktek seperti ini hampir dilakukan di semua Fakultas Kedokteran. Otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran, Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT telah menetapkan beberapa kaidah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada masa Rasulullah SAW diantara kaidah tersebut adalah “Apabila berbenturan dua kemashlahatan maka yang dilakukan yang paling banyak mashlahatnya, juga apabila berbenturan dua mufsadat maka dilakukan yang paling ringan mufsadatnya . b. Bedah Mayat Keilmuan Ialah pembedahan yang dilakukan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit, setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter. Bedah mayat ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara umum atau secara mendalam. Sifat perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu semasa hidupnya dan untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit mayat yang tidak diketahui secara sempurna selama dia sakit. Dengan melakukan otopsi ini seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian jenazah tersebut, sehingga kalau memang itu suatu wabah dan di khawatirkan akan menyebar bisa segera diambil tindakan preventif, demi kemashlahatan. c. Bedah Mayat Kehakiman Yaitu bedah mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, seperti dugaan pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan. Bedah mayat semacam ini biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang. Misalnya, karena tindak pidana kriminal atau kematian alamiah melalui visum dokter kehakiman (visum et reperthum) biasanya akan diperoleh penyebab sebenarnya, dan hasil visum ini akan mempengaruhi keputusan hakim dalam menentukan hukuman yang akan dijatuhkan. Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi jika tidak diketahui secara pasti pelakunya dan jika bukan karena kematian secara alamiah maka bedah mayat ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan pelakunya orang-orang tertentu. Di Indonesia, undang-undang melarang warganya untuk menghalangi petugas melakukan pembedahan atas mayat demi kepentingan peradilan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 222 dijelaskan, "Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak/sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah." Untuk mengantisipasi kemaslahatan bedah mayat ini, Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak Departemen Kesehatan RI pada Fatwa No. 4 tahun 1955 mengisyaratkan dibolehkannya bedah mayat dengan tujuan kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegakan keadilan. Akan tetapi kebolehan itu dibatasi sekedar dalam keadaan darurat menurut kadar kepentingannya. Dalam Alquran tidak ditemukan ayat yang mengandung secara pasti perihal bedah mayat. Akan tetapi, terdapat beberapa ayat Alquran yang dapat dijadikan isyarat mengenai landasan praktik bedah mayat ini. Seperti janji Allah SWT yang akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya di angkasa luar (ufuk) dan yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Sebagaimana firman Allah :        •              Artinya : Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? . (QS. Fushshilat: 53). Pengertian dalam diri manusia, menurut para mufasir. berarti di dalam tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti. Jadi, seorang hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil diperlukan bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsi Forensik merupakan salah satu cara atau media untuk menemukan bukti. ۞ Kemungkinan terjadinya pembedahan mayat dapat disebabkan oleh : 1. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat. Jika seorang ibu yang akan melahirkan meninggal dunia, sementara di dalam tubuhnya terdapat bayi yang masih hidup, maka dalam kondisi seperti ini tim dokter berusaha menyelamatkan bayi yang masih hidup tersebut dengan cara membedah perut mayat, karena satu-satunya cara yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan bayi tersebut adalah dengan cara demikian . Di dalam beberapa kasus meninggalnya si ibu sebelum melahirkan antara lain adalah karena kecelakaan, akibat pendarahan hebat yang mengakibatkan kekurangan darah, tidak lancarnya persalinan, dan disebabkan oleh penyakit tertentu. Pada prinsipnya ajaran Islam memberikan tuntutan pada umatnya, agar selalu berijtihad dalam hal-hal yang tidak ada ditemukan dan sebagai landasannya adalah firman Allah:    •             ... Artinya : dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...... (QS. Al-Hajj : 78). 2. Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat. Apabila seseorang menelan sesuatu yang bukan miliknya, misalnya menelan permata orang lain yang sangat berharga yang mengakibatkan ia meninggal dunia, selanjutnya pemilik barang tersebut menuntut agar permata tersebut dikembalikan kepadanya. Maka tidak ada cara lain yang ditempuh kecuali dengan membedah mayat itu untuk mengeluarkan permata tersebut dari jasadnya. 3. Untuk kepentingan penegakan hukum. Untuk menegakkan hukum yang adil menurut Islam, tertentu diserahkan kepada ahlinya, agar para ahli itu dapat menerapkannya dengan cara yang adil dan benar, sebagai firman Allah yang artinya:  •           ••     ....... Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil......... (QS. An-Nisaa: 58) Penghormatan terhadap si mayat memang perlu dijaga, tetapi penegakan hukum lebih penting lagi, karena menyangkut dengan nasib seseorang yang akan dijatuhi hukuman, berat atau ringan. 4. Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran. Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan penbedahan mayat, yaitu ilmu anatomi, yang dasar-dasarnya sudah disebutkan dalam al-Quran sejak 14 abad yang lalu. Konsep inilah sebenarnya dikembangkan oleh sarjana muslim pada abad pertengahan dan kemudian dipelajari oleh bangsa Barat lewat penelitian ilmiah. Konsep tersebut berbunyi: ......    •        ......  Artinya: ........Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.......(QS. az-Zumar: 6) Adapun tiga kegelapan yang dimaksud ayat tersebut di atas adalah: kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim. C. HUKUM PEMBEDAHAN MAYAT MENURUT ISLAM Tujuan bedah mayat yang telah dikemukakan di atas, perlu dikaitkan dengan hukum Islam, agar orang yang akan melaksanakannya tidak merasa ragu-ragu dan dianggap bertentangan dengan ajaran agama. 1. Menyelamatkan Janin Dalam hal ini, Islam membolehkan membedah mayat yang di dalam rahimnya terdapat janin yang masih hidup. Urusan tersebut diserahkan kepada dokter ahli untuk melaksanakannya, dan merawat janin yang diselamatkan itu. Bahkan ada pendapat yang mengatakan, wajib hukumnya membedah mayat, bila diperkirakan dokter, janinnya masih hidup. 2. Mengeluarkan Benda yang Berharga dari Perut Mayat Bedah mayat wajib hukumnya, bila dalam perutnya ada batu permata (barang berharga) milik orang lain. Hal ini berarti, tidak wajib mayat itu dibedah, bila yang di dalam perutnya itu miliknya sendiri dan dianggap sudah hancur atau habis dan tidak ada lagi hubungannya dengan hak ahli waris . para ahli waris, cukup melihat kepada peniggalan yang ada, disamping perlu menghormati si mayat . Kasus di atas adalah kasus mengambil darurat yang lebih ringan di antara dua pilihan yang sama-sama darurat. Darurat pertama adalah keharaman merusak mayat berhadapan dengan darurat kedua, yaitu kesengsaraan si mayat jika barang diperutnya tidak diambil dan dikembalikan kepada pemiliknya dengan cara dibedah. Dengan masalah seperti itu pilihan untuk membedah mayat dan mengembalikan barang kepada pemiliknya adalah yang harus diambil, karena mudaratnya lebih ringan. Dengan demikian tindakan autopsi untuk tujuan di dimaksud berdasarkan kaidah yang telah disebutkan di atas diperbolehkan menurut hukum Islam. 3. Menegakkan Kepentingan Hukum Peralatan modern kadang-kadang sulit membuktikan sebab-sebab kematian seseorang dengan hanya penyeledikan dari luar tubuh mayat. Maka kesulitan tersebut menjadi alasan untuk membolehkan membedah mayat sebagai wahana penyelidikan. Hajat inilah yang membolehkan hal-hal yang diharamkan, sebagaimana Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi : لاَحَرَامَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ وَلاَ كَرَاهَةَ مَعَ الْحَاجَةِ “Tiada haram (bila) bersama darurat, dan tiada makruh (bila) bersama dengan hajat.” Juga berpegang kepada kaidah: اْلحَا جَةُ تَنْزِلَ مَنْزِ لَةَ الضَّرُوْرَةِ عَا مَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً . “Hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat (yang bersifat) umum maupun hajat khusus (perorangan).” Apabila penegak hukum tidak mau mengusut kejahatan, karena yang dianiaya sudah meninggal dunia, lalu takut mengadakan pengusutan dengan cara pembedahan mayat, maka berarti dia memberi jalan kepada penjahat untuk tidak takut beraksi. Hukum harus ditegakkan meskipun harus dengan jalan melakukan bedah mayat dan pembongkaran kuburan untuk pencapaian keadilan. 4. Memperhatikan Kepentingan Pendidikan dan Keilmuan Menurut Umar Hubais mempelajari ilmu kedokteran adalah wajib atau fadhu kifayah bagi umat Islam, karena Rasulullah sendiri berobat, memberi obat serta menganjurkan untuk berobat. Di antara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak. Pembedahan mayat tidak boleh dilakukan secara berulang-ulang, karena mayat hendaknya segera dikuburkan bukan untuk dipamerkan. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: “Percepatlah mengantar jenazah ke kuburnya. Bila dia seorang yang shaleh maka kebaikanlah yang kamu hantarkan kepadanya dan dia kebalikannya, maka sesuatu keburukan yang kamu tanggalkan dari beban lehermu.” (HR. Bukhari). Di antara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak. Sekiranya mayat itu memang diperlukan sabagai sarana penelitian untuk mangembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum Islam, hal ini dibolehkan karena dilandasi bahwa memperbaiki nasib orang hidup lebih diutamakan daripada kepentingan orang yang sudah mati dan juga bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia. ۞ Pandangan 4 Mazhab mengenai pembedahan mayat : a. Menurut Imam Ahmad bin Hambali Seseorang yang sedang hamil dan kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin yang ada didalamnya masih hidup. b. Menurut Imam Syafi’i Jika seorang hamil, kemudian dia meninggal dunia dan ternyata janinnya masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya. Begitu juga hukumnya kalau dalam perut si mayat itu ada barang berharga. c. Menurut Imam Malik Seorang yang meninggal dunia dan didalam perutnya ada barang berharga, maka mayat itu harus dibedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu (tidak boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeluarkan janinnya yang diperkirakan masih hidup. d. Menurut Imam Hanafi Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu. • Pandangan Ulama Tentang Bedah Mayat Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat : 1. Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi hukumnya haram Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dengan mematahkannya pada waktu hidupnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah) 2. Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah (boleh) Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prisip-prinsip yang ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, “Apakah kita harus berobat?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit, yaitu penyakit tua.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad). Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit, berarti secara implisit (tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan jenis-jenis penyakit dan cara pengobatannya. Autopsi anatomis dan klinis merupakan salah satu media atau perangkat penelitian untuk mengembangkan keahlian dalam bidang pengobatan. Tujuan autopsi forensik sejalan dengan prinsip Islam untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam penetapan hukum MUI juga sudah mengeluarkan fatwa No. 19 tanggal 5 Februari 1988 yang menyebutkan bahwa penyelidikan ilmiah terhadap mayat tidak dilarang oleh Islam. Akan tetapi setelah dipakai penyelidikan, mayat tersebut wajib dikuburkan kembali. Sidang Komisi Fatwa MUI kemudian melengkapi keputusan tersebut dengan beberapa ketentuan : 1. Hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia itu terhormat. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya, menyelenggarakan penguburan jenazah. 2. Pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan ilmu, mendatangkan maslahat lebih besar atau memberikan perlindungan jiwa, bukan hanya untuk praktik semata. 3. Sebelum pengawetan, hak-hak jenazah Muslim harus dipenuhi. Misalnya dimandikan, dikafani dan dishalati. Pengawetan jenazah untuk penelitian harus dilakukan dalam batas proporsional, yaitu hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. KESIMPULAN Sesuai dengan pembahasan yang sudah dikemukakan pada makalah ini, maka perihal status hukum bedah mayat ditinjau menurut hukum Islam melalui pendekatan teori-teori pada kaidah fiqhiyah, dapat disimpulkan bahwa bedah mayat adalah suatu tindakan dokter ahli untuk membedah mayat karena dilandasi oleh suatu maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu seperti: kepentingan penegakkan hukum; untuk mengeluarkan benda yang berharga dari mayat; dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran. Tindakan pembedahan yang didasari oleh motif-motif tersebut dibolehkan dalam ajaran Islam, bahkan bisa dihukumkan wajib apabila keperluan bedah itu menempati level hajat atau darurat. Apabila bedah mayat atau autopsi yang dilakukan seseorang tersebut tanpa ada tujuan yang benar dan tidak ada manfaatnya, maka hukumnya haram. Termasuk pula bila pembedahan mayat itu melampaui batas dari hajat yang dibutuhkan. DAFTAR PUSTAKA Djazuli, A. 2010. Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyeleseaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana. Kasdi, Abdurrohman. 2011. Masail Fiqhiyyah; Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer. Kudus : Nora Media Enterprise. Mahjudin, H. 2012. Masail Al-Fiqh, Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Nata, Abbudin. 2003. Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta : Prenada Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar